Cahaya merah memancar mengantar pamitnya sang
mentari , awan nampak begitu indah
mempesona diufuk barat , senja menyadarkan manusia untuk menghentikan segala
aktifitasnya, di dalam kamar yang berukuran 2x3 aku merebahkan tubuh, menikmati sisa hari yang melelahkan, yah. Sangat
melelahkan, karena ada beberapa bagian pekerjaan mama yang mulai jadi
rutinitasku, masak sendiri, kepasar sendiri, dan nyuci baju sendiri, berharap
bisa hal ini bisa mendewasakan diri dan mengajariku untuk mandiri, oleh karena
itu aku tidak ragu meminta kepada mama dan papa untuk memberiku ijin keluar menghabiskan masa putih
abu-abuku, sekaligus mencari jati diriku, hidup sebatangkara dikota orang
adalah tantangan dan pengalaman istimewa bagiku.
Setelah
bersuka ria menerima kelulusan SMP, aku berkeinginan untuk meneruskan sekolahku
di SMK Kesehatan yapi bone, dan keinginan
itu tidak sebatas angan tatkala keputusan bebas tesku di umumkan, namun rasa
kecewa datang meracuni jiwa, orang tuaku tidak menyetujuiku melanjutkan sekolah
lantaran mendengarkan kata-kata tetangga “sekolah di SMK biayanya mahal,apalagi
SMK kesehatan,kan biasa pak anaknya lanjut di SMA dulu,nanti tamat SMA bisa kedokteran,
jadinya bayar mahalnya hanya sekali aja pak” mau tidak mau, ludah rasa kecewaku
hanya bisa ku teguk dalam- dalam, terlebih lagi karena berpisah dengan sahabat
SMP yang mendapatkan izin dari orang
tuanya semakin menambah sempurnanya rasa
sedih di hatiku.
Beberapa
sekolah yang papa tawarkan kepadaku
termasuk pesantren Al- ikhlas ujung dan pesantren As’adiyah sengkang tak
bisa aku terima,karena keinginan untuk sekolah di SMK kesehatan belum sirna.
Hingga pada suatu hari saudara sepupuku datang
dan menawarkan untuk mendaftar di SMAN 3 Sengkang , berawal dari tawaran
itu aku mendaftar dan resmi menjadi
murid SMA 3.
Aku
rasa ,aku adalah manusia istimewa yang pilih oleh tuhan menjadi siswa terberuntung
diantara ratusan , bahkan hampir ribuan siswa
SMA 3, awalnya aku sempat ragu, ada banyak pertimbangan yang merasuki
otakku dan menghantui pikiranku, menakut –nakutiku sehingga menjadihkan percaya
diriku turun, pasti aku yang paling terbelakang nantinya, aku berasal dari
sekolah terpencil, pedalaman belum terlalu mendalami belajar komputer, juga
berpenampilan kolot, huh…. tapi tidak! kuyakinkan diriku bahwa aku pun mampu
nantinya , aku bisa mengejar keterbelakagan yang aku miliki, bahkan aku bisa
lebih dari mereka, dan akhirnya ketika suara Tuhan mengatakan “kunfayakun” maka
benar bahwa tak ada yang mustahil baginya .
Terpilihnya
aku menjadi calon ketua Osis pada saat masih kelas X semakin membuatku yakin, bahwa
aku bisa berada di tengah-tengah mereka , pun mampu berada dibarisan terdepan
memimpin mereka, “hebat, baru kelas X tapi ku akui dek retorikamu mengalahkan
kemampuan bicaraku, analisamu serta percaya dirimu lebih tinggi dariku” kata
yuliani Idrus ketua MPK SMA 3 Dua tahun lalu dan di iakan oleh kak Lutfi Fadlulluah mantan ketua Osis
SMA 3 serata beberapa senior yang duduk di depannku saat menyeleksiku menjadi
calon ketua osis bersaing dengan kakak senior Reski Maharja, Amran, Ahmad Suharja,
dan Akhsan Syakir. Karena keberanian itu memasukkan aku dalam kepengurusan
Osis dan dengan dorongan teman – teman
aku kembali mencalonkan diri menjadi ketua Osis pada saat kelas dua, walaupun tidak pernah terpilih namun jutaan pengalaman yang tidak semua
siswa dapat merasakannya dapat aku rasakan, indahnya kebersamaan dengan sesama pengurus tak dapat dibandingkan
dengan apa pun, bersama – sama menerima cacian ketika para rakyat SMA 3 tidak
puas dengan kinerja kami, pun bersama- sama dapat pujian ketika kegiatan yang
kami laksanakan berhasil. Bukan hanya itu karena seringnya mendapat undangan
pada kegiatan- kegiatan keorganisasian sekolah sahabat, kami pun dapat mengikat
persaudaraan dengan sekolah lain. Kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler yang
pemerintah laksanakan, semua kami yang terjun menjadi pesertanya. Sehingga
pengalaman penghargaan mengalir mengindahkan masa putih abu- abuku, refreshing
ketempat wisata dengan gratis, Kenal dekat dengan semua guru dan semua warga
sekolah, bahkan pernah suatu ketika hal yang tidak pernah bisa aku lupakan saat itu kegiatan Osis yang terlaksana hingga
sore, hari semua siswa telah pulang, yang tinggal hanya kami para pengurus yang
memungut sampah- sampah dengan wajah letih
bercucuran keringat. Ayahanda bapak Abdul Hamid mendekati kami,
entahlah, mungkin karena kasihan memberilkan uang Rp 20 ribu, katanya untuk membeli minum,
awalnya aku menolak namun karena Bapak
mendesak aku pun menerimanya. ini yang kami rasakan yang tidak semua siswa
dapat merasakannya.
Thanks
to Allah SWT. Padahal awalnya SMA 3 hanya pelarianku saja.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking