Free Flower Color Change1 Cursors at www.totallyfreecursors.com
mutmainnah syam: MAKALAH MAQASID SYARIAH

daun

Sondag 02 Junie 2013

MAKALAH MAQASID SYARIAH



MAQASID SYARIAH
TUGAS KELOMPOK
Diajukan sebagai  makalah untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ushul fiqih















Disusun Oleh :
SITTI MUTMAINNAH SYAM
FITRI WULANDA
SRY IRNAWATI
M. RAFII AKBAR
     AHMAD ASIF SARDARI
      RIDWAN
        ALFIN




FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM JURUSAN PERADILAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2013

KATA PENGANTAR


Segenap puji kami ucapkan kepada Allah SWT. Yang telah memberikan karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan tema ijtihad sebagai tugas mata kuliah ilmu fiqih, Untaian-untaian sholawat serta salam kami limpahkan keharibaan nabi besar Muhammad SAW. Yang mana berkat perjuangan beliaulah sehingga alam ini menjadi tentram, aman, dan sejahtera.
            Ucapkan terima kasih kami haturkan kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan dan bantuan terbentuknya makalah ini, sebagai manusia biasa yang tak luput dari kesalahan tentunya makalah yang kami buat ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saranya sangat kami harapkan guna untuk menyempurnakan makalah yang kami susun selanjutnya, semoga makalah ini bisa menjadi media untuk menambah wawasan pembacanya,amin ya rabbal alamin


Samata, 12 Desember 2012

Penyusun

DAFTAR ISI







 





































BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW adalah sebagai sumber utama hukum Islam yang bersifat wajib, atau mutlaq di percayai dan di anut oleh seorang muslim, selain menunjukkan hukum dengan bunyi bahasanya juga dengan ruh tasryi’ atau Maqasid Syari’at.
Melalui Maqasid Syari’ah inilah ayat-ayat dan hadits-hadits hukum yang secara kuantitatif sangat terbatas jumlahnya dapat dikembangkan untuk menjawab permasalahan–permasalahan yang secara kajian kebahasaan tidak tertampung oleh al-Quran dan Sunnah. Pengembangan ini dengan menggunakan metode istimbat seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan ‘urf yang juga disebut sebagai dalil.[1]
Maqasid Syaria’ah yang ditujukkan melalui hukum-hukum Islam dan ditetapkan berdasarkan nash-nash agama adalah maslahat hakiki. Maslahat ini mengacu terhadap pemeliharaan terhadap lima hal: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kehidupan dunia ditegakkan atas lima pilar tersebut, tanpa terpeliharanya kelima hal ini tidak akan tercapai kehidupan manusia yang luhur secara sempurna.

B.  Rumusan Masalah
            a)   Bagaimana sejarah maqasid syari’ah itu ?
            b)   Apa pengertian dan macam-macam maqasid syari’ah itu ?

C.  Tujuan
a)      Untuk mengetahui sejarah maqasid syari’ah
b)      Untuk mengetahui pengertian dan macam-macam maqasid syari’ah



























BAB II

PEMBAHASAN


A.    Sejarah Maqasid Al-syari’ah.

            Apakah sebelum Imam Syathibi Maqashid al-Syari’ah sudah ada? Pertanyaan inilah yang hendak penyusun bahas.

            Betul bahwa Imam Syathibi adalah Bapak Maqashid al-Syari’ah pertama sekaligus peletak dasar Ilmu Maqashid, namun itu tidak berarti bahwa sebelumnya tidak ada Ilmu Maqashid. Imam Syathibi lebih tepat disebut orang yang pertama menyusun secara sistematis Maqashid al-Syari’ah sebagaimana Imam Syafi’I menurut kaum Sunni dengan ilmu Ushul Fiqhnya.

Kata al-maqashid sendiri menurut Ahmad Raisuni, pertama kali digunakan oleh at-Turmudzi al-Hakim, ulama yang hidup pada abad ke-3. Dialah, menurut Raisuni, yang pertama kali menyuarakan Maqashid al-Syari’ah melalui buku-bukunya, al-Shalah wa Maqashiduhu, al-Haj wa Asraruh, al-‘Illah, ‘Ilal al-Syari’ah, ‘Ilal al-‘Ubudiyyah dan juga bukunya al-Furuq yang kemudian diadopsi oleh Imam al-Qarafi menjadi judul buku karangannya.

Setelah al-Hakim kemudian muncul Abu Mansur al-Maturidy dengan karyanya Ma’khad al-Syara’ disusul Abu Bakar al-Qaffal al-Syasyi dengan bukunya Ushul al-Fiqh dan Mahasin al-Syari’ah. Setelah al-Qaffal muncul Abu Bakar al-Abhari dan al-Baqilany masing-masing dengan karyanya, diantaranya, Mas’alah al-Jawab wa al-Dalail wa al ‘Illah dan al-Taqrib wa al-Irsyad fi Tartib Thuruq al-Ijtihad. Sepeninggal al-Baqillany muncullah al-Juwaeny, al-Ghazali, al-Razy, al-Amidy, Ibn Hajib, al-Baidhawi, al-Asnawi, Ibn Subuki, Ibn Abdissalam, al-Qarafi, al-Thufi, Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim.

Urutan di atas adalah versi Ahmad Raisuni, sedangkan menurut Yusuf Ahmad Muhammad al-Badawy, sejarah Maqashid al-Syari’ah ini dibagi dalam dua fase yaitu fase sebelum Ibn Taimiyyah dan fase setelah Ibn Taimiyyah[2]. Itu lah sepenggal sejarah maqasid al- syari’ah menurut para ahli.

B.    Pengertian dan macam-macam Maqasid Al- Syari’ah.

Maqasid Syaria’ah ialah tujuan Allah dan Rosul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rosullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.

Menurut Wahbah al Zuhaili, Maqasid Al Syariah berarti nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-Syari' dalam setiap ketentuan hukum. Menurut Syathibi tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.[3]

Menurut al Syathibi dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama maqasid al syari' (tujuan Tuhan). Kedua maqasid al mukallaf (tujuan mukallaf). Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, Maqasid Al Syariah mengandung empat aspek, yaitu:

1.    Tujuan awal dari Syari' menetapkan syariah yaitu kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat.

2.    Penetapan syariah sebagai sesuatu yang harus dipahami.

3.    Penetapan syariah sebagai hukum taklifi yang harus dilaksanakan.

4.    Penetapan syariah guna membawa manusia ke bawah lindungan hukum.

Begitu pula dari sudut maqasid al mukallaf, Maqasid Al Syariah mengandung empat aspek pula, yaitu :

1.    Pembicaraan mashlahah, pengertian, tingkatan, karakteristik, dan relativitas atau keabsolutannya.

2.    Pembahasan dimensi linguistik dari problem taklif yang diabaikan oleh juris lain. Suatu perintah yang merupakan taklif harus bisa dipahami oleh semua subjeknya, tidak saja dalam kata-kata dan kalimat tetapi juga dalam pengertian pemahaman linguistik dan kultural. Al Syathibi mendiskusikan problem ini dengan cara menjelaskan dalalah asliyah (pengertian esensial) dan ummumiyah (bisa dipahami orang awam).

3.    Analisa pengertian taklif dalam hubungannya dengan kemampuan, kesulitan dan lain-lain.

4.    Penjelasan aspek huzuz dalam hubungannya dengan hawa dan ta'abud.

      Mayoritas peneliti membagi kemashlahatan menjadi dua macam, kemashlahatan akhirat yang dijamin oleh akidah dan ibadah dan kemashlahatan dunia yang dijamin oleh muamalat. Tetapi dalam pembahasan ini, tidak ditemukan korelasi yang mengharuskan untuk memperhatikan pembagian ini. Karena pada hakekatnya segala hal yang terkait dengan akidah, ibadah dan muamalat dalam syariat Islam menjamin segala kemashlahatan umat baik sisi dunia maupun akhirat.[4]

Kemashlahatan yang menjadi tujuan syariat ini dibatasi dalam lima hal, agama, jiwa/nafs, akal, keturunan dan harta. Setiap hal yang mengandung penjagaaan atas lima hal ini disebut maslahah dan setiap hal yang membuat hilangnya lima hal ini disebut mafsadah.

Adapun setiap hal yang menjadi perantara terjaganya lima hal ini, dibagi menjadi tiga tingkatan kebutuhan yaitu al dlorruriyat, al hajiyat dan al tahsinat.

a.     Kebutuhan dhoruriyat

Definisinya adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut juga kebutuhan primer. Apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi maka keselamatan ummat manusia akan terancam, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Al Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, jiwa, kehormatan, keturunan dan harta. Untuk memelihara lima hal pokok inilah syariat Islam diturunkan. Dalam setiap ayat hukum apabila diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain adalah untuk memelihara lima hal pokok di atas. Seperti kewajiban qisas:

ولكم فى القصاص حياة يأولى الألباب لعلكم تتقون                                            

"Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu hai orang-orang yang bertakwa"

            Dari ayat ini dapat diketahui bahwa disyariatkannya qisas karena dengan itu ancaman terhadap kehidupan manusia dapat dihilangkan.



b.    Kebutuhan al hajiyat

Al Syatibi mendefinisikan sebagai kebutuhan sekunder. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi keselamatan manusia tidak sampai terancam. Namun ia akan mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan tersebut. Adanya hukum rukhshah (keringanan) seperti dijelaskan Abdul Wahhab Khallaf. Merupakan contoh kepedulian syariat Islam terhadap kebutuhan ini.

c.     Kebutuhan al tahsinat

Definisinya adalah kebutuhan yang tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak pula menimbulkan kesulitan apabila tidak terpenuhi. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan Al Syatibi seperti hal yang merupakan kepatutan menurut adat-istiadat menghindari hal yang tidak enak dipandang mata dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak,.



  Al Syatibi juga membagi mashlahah dalam tiga hal:

1.      Mashlahah muktabar, yaitu kemashlahatan yang berhubungan dengan penjagaan pada lima hal sebagaimana diungkap di atas.

2.      Mashlahat mulgha, yaitu sesuatu yang sepintas lalu terlihat mashlahat, tetapi ada mashlahat yang lebih besar sehingga mashlahat yang kecil itu boleh diabaikan.

3.      Mashlahat mursalah, yaitu kemashlahatan yang tidak terkait dengan dalil yang memperbolehkan atau melarangnya, contoh untuk mengatasi merajalelanya pemalsuan hak milik atas barang-barang berharga atau pemalsuan isteri agar dapat bebas kumpul kebo maka atas pertimbangan mashlahah mursalah boleh diadakan ketentuan kewajiban mencatat dan keharusan mempunyai keterangan yang sah setiap terjadi akad jual beli, nikah, hibah dan lain sebagainya.[5]


  Kehujjahan Maqasid Al Syariah (mashlahah)

            Mashlahah dalam bingkai pengertian yang membatasinya bukanlah dalil yang berdiri sendiri atas dalil-dalil syara' sebagaimana Al Qur'an, Al Hadits, Ijma' dan Qiyas. Dengan demikian tidaklah mungkin menentukan hukum parsial (juz'i/far'i) dengan berdasar kemashlahatan saja. Sesungguhnya mashlahah adalah makna yang universal yang mencakup keseluruhan bagian-bagian hukum far'i yang diambil dari dalil-dalil atau dasar syariah.

            Kesendirian mashlahah sebagai dalil hukum, tidak dapat dilakukan karena akal tidak mungkin menangkap makna mashlahah dalam masalah-masalah juz'i. Hal ini disebabkan dua hal:

·       Kalau akal mampu menangkap Maqasid Al Syariah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum, maka akal adalah penentu/hakim sebelum datangnya syara'. Hal ini mungkin menurut mayoritas ulama.

·       Kalau anggapan bahwa akal mampu menangkap Maqasid Al Syariah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum itu dianggap sah-sah saja maka batallah keberadaan atsar /efek dari kebanyakan dalil-dalil rinci bagi hukum, karena kesamaran substansi mashlahah bagi mayoritas akal manusia[6].

Bagi Abdul Wahhab Khallaf, Maqasid Al Syariah adalah suatu alat bantu untuk memahami redaksi Al Qur'an dan Al Hadits, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung dalam Al Qur'an dan Al Hadits.

            Dari apa yang disampaikan Abdul Wahhab Khallaf ini, menunjukkan Maqasid Al Syariah tidaklah mandiri sebagai dalil hukum tetapi merupakan dasar bagi penetapan hukum melalui beberapa metode pengambilan hukum. Namun begitu, sebagaimana disinggung dalam pendahuluan hampir keseluruhan metode yang dipertentangkan/tidak disepakati oleh ulama, adalah karena faktor pengaruh teologi.












































BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Maqasid Syaria’ah ialah tujuan Allah dan Rosul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rosullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.

Maqasid Al Syariah mengandung empat aspek, yaitu:

    Tujuan awal dari Syari' menetapkan syariah yaitu kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat.
    Penetapan syariah sebagai sesuatu yang harus dipahami.
    Penetapan syariah sebagai hukum taklifi yang harus dilaksanakan.
    Penetapan syariah guna membawa manusia ke bawah lindungan hukum.






































DAFTAR PUSTAKA


Tim Penyusun, Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta : PT. Pustaka Van Hoeve.

http://islamlib.com/id/artikel/bapak-maqasid-al-syariah-pertama/

Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terjemahan oleh Yudian W. Asmin, Surabaya: Al Ikhlas, 1995

Muhammad Said Romadlon al Buthi, Dhowabit al Mashlahah fi al Syariah al Islamiyah, Beirut: Dar al Muttahidah, 1992

http://fikrah.interaktif.tripod.com/Agama/maqasid.htm

Satria Efendi, M. Zein. Ushul Fiqh, Kencana Prenada Media Group Kencama, Jakarta, 2008














[1] Tim Penyusun, Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta : PT. Pustaka Van Hoeve, hal 292
[2] http://islamlib.com/id/artikel/bapak-maqasid-al-syariah-pertama/
[3] Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terjemahan oleh Yudian W. Asmin, Surabaya: Al Ikhlas, 1995, hal.225

[4] Muhammad Said Romadlon al Buthi, Dhowabit al Mashlahah fi al Syariah al Islamiyah, Beirut: Dar al Muttahidah, 1992 halaman 71.
[5] http://fikrah.interaktif.tripod.com/Agama/maqasid.htm
[6] Satria Efendi, M. Zein. Ushul Fiqh, Kencana Prenada Media Group Kencama, Jakarta, 2008  hal 78

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking