Free Flower Color Change1 Cursors at www.totallyfreecursors.com
mutmainnah syam: KARYA TULIS " OTONOMI DAERAH"

daun

Sondag 02 Junie 2013

KARYA TULIS " OTONOMI DAERAH"


Nama                                     : Sitti Mutmainanh Syam
Alamat                                    : Jalan Sultan Alauddin samata-Gowa
Tempat/Tanggal lahir           : Bone, Sulawesi Selatan 08 Desember 1993
Nama Universitas                : Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Alamat Universitas              : Jalan Sultan Alauddin No.36 Samata-Gowa

TINDAK PIDANA KORUPSI DIKALANGAN PEMERINTAH DAERAH TERKAIT DENGAN  OTONOMI DAERAH

Karya Tulis
Diajukan sebagai  Lomba Karya Tulis Otonomi Daerah Tingkat Nasional ”Otonomi Daerah untuk Penguat Negara Kesatuan RI (NKRI)” oleh Ketua Umum APKASI ( Ir. H. Isran Noor, Msi )















Disusun Oleh :
SITTI MUTMAINNAH SYAM



UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2013


ABSTRAK

   Karya tulis ini bertujuan untuk mengetahui penyebab maraknya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pemerintah daerah yang menimbulkan permasalahan besar sehingga menghambat good local governance, adapun penyebabnya adalah mahalnya ongkos politik, faktor ekonomi, nepotisme yang masih membudaya, dan lemahnya pengawasan untuk mengawasi kinerja pemerintah daerah. Cara  menaggulanginya adalah menegakkan hukum secara sungguh-sungguh,  memperkuat  ” pillars of integrity ” yang melibatkan delapan pillars of integrity yaitu a) Lembaga eksekuti,  b) Lembaga parlemen, c) Lembaga kehakiman, d) Lembaga-lembaga pengawas, e) Media, f) Sektor swasta, g) Masyarakat sipil, dan h) Lembaga-lembaga penegak hukum, selain keterbukaan laporan penggunaan anggaran pelaksanaan pemerintahan dan moral pemerintah daerah juga merupakan hal penting untuk menaggulangi tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam pemerintahan daerah. .

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim...
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya tulis ini dengan baik.
Penyusunan karya tulis yang berjudul ” TINDAK PIDANA KORUPSI DIKALANGAN PEMERINTAH DAERAH TERKAIT DENGAN OTONOMI DAERAH”, disusun secara khusus untuk diajukan sebagai Lomba karya tulis otonomi daerah tingkat nasional. Oeh sebab itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :
1.        Ayahanda ketua APKASI bapak Ir. H. Isran Noor, MSi sebaga pihak yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk membuat karya tulis otonomi daerah, sehingga dalam pembuatan karya tulis ini penulis banyak menemukan pengetahuan baru terkait pentingnya otonomi daerah sebagai penguat negara kesatuan republik Indonesia. Kepada kedua orang tua penulis yang selalu memberikan semangat baik dari segi materil maupun non materil kepada penulis dalam menyelesaikan karya tuis ini
2.        Kepada teman-teman penulis serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Akhirnya penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Tapi dengan keyakinan semua harus berawal dari belajar. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.

Samata,  12 April 2013



Penulis


BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang


Semangat reformasi dan demokratisasi yang dihembuskan sebagai  bentuk      perubahan yang dilakukan terhadap peran negara yang begitu dominan yang dikelola secara sentralistik dan otoriter menimbulkan gagasan tentang desentralisasi yang kemudian menjadi energi baru bagi masyarakat untuk melakukan suatu perubahan. Fenomena ini sangat menggejala dipertengahan tahun 1999. Dukungan yang luas terhadap gelombang desentralisasi memunculkan pertanyaan tentang kapasitas institusi lokal dalam merespon perubahan tersebut. Kapasitas ini terkait dengan ranah pengembangan demokrasi, pelayanan publik, ekonomi dan sebagainya.
Dari sisi hukum, UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999, mendestralisasikan kekuasaan secara radikal dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Karena itu, ketika secara resmi mulai digulirkan tahun 2011, masyarakat menyambut dengan antusias. Jarak yang semakin dekat antara masyarakat dengan pemerintah selaku penyelenggara kekuasaan negara ditingkat daerah, mendorong tumbuhnya partisipasi masyarakat. Banyak kelompok pengawas, organisasi non pemerintah, lembaga penelitian dan kampus hingga kelompok aksi mahasiswa mulai mengarahkan perhatian pada persoalan daerah. Pemberian otonomi kepada daerah-daerah adalah sebagai konsekuensi penyelenggaraan asas desentralisasi, dimana dalam hal ini adanya pelimpahan kekuasaan atau wewenang kepada pemerintah daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun, dalam otonomi daerah tidak hanya kekuasaan yang terdesentralisasi akan tetapi juga diikuti oleh korupsi, maraknya kasus korupsi dikalangan pemerintah daerah menunjukan bahwa penyebaran korupsi didaerah sudah pada tahap yang sangat  serius, dan telah menjalar dari sabang sampai marauke, hal ini adalah situasi genting karena tidak pernah terjadi sebelumnya. Kasus korupsi anggaran  yang terjadi di daerah-daerah hampir diseluruh Indonesia menunjukkan  freelance corruption, dimana ditengah keterbatasan dana pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam prakteknya otonomi daerah memang tidaklah seindah yang dibayangkan, kekuasaan yang didesentralisasi secara radikal memunculkan praktek-praktek krupsi di tingkat lokal. Tidak dibayangkan sebelumnya, anggota DPRD bersama dengan eksekutif melakukan berbagai macam praktek korupsi, dalam banyak kasus, perilaku korup itu dilakukan secara terbuka dan telanjang.  Kalau tidak segera

Ditangani boleh jadi akan muncul kekecewaan terhadap program otonomi daerah sehingga kekhawatiran akan muncul resentralisasi kekuasaan oleh pemerintah pusat
karena menganggap otonomi daerah tidak memberikan hasil positif terhadap pembangunan bangsa.
Dari berbagai penjelasan di atas telah melatarbelakangi penulis sebagai remaja generasi penerus bangsa dalam menyusun karya tulis yang berjudul “ TINDAK PIDANA KORUPSI DIKALANGAN PEMERINTAH DAERAH TERKAIT DENGAN OTONOMI DAERAH “.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang ada dan pemilihan judul, adapun beberapa masalah yang ditemukan penulis yang kemudian dirumuskan sebagai berikut :
1.    Apa penyebab terjadi maraknya korupsi dikalangan pemerintah daerah ?
2.    Bagaimana upaya penanggulangan tindak pidana korupsi dikalangan pemerintah daerah?

C. Tujuan Penelitian

            Adapun yang menjadi tujuan penulisan karya tulis ini yaitu :
1.    Untuk mengetahui sebab terjadinya tindak pidana korupsi dikalangan pemerintah daerah.
2.    Untuk mengetahui upaya penaggulangan terjadinya tindak pidana korupsi dikalangan pemerintah daerah.
D. Manfaat Karya Tulis
Adapun harapan penulis terhadap karya tulis ini agar dapat bermanfaat :
1.    Bagi mahasiswa
l   Sebagai bahan pembelajaran bagi mahasiswa sebagai penerus bangsa agar menjunjung tinggi kejujuran guna menghindari perilaku tercela yaitu korupsi yang sangat merugikan negara serta menghambat besar good local governance.
2.    Bagi tenaga pendidik
l Sebagai bahan pedoman  bagi tenaga pendidik untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran kepada generasi muda calon pemimpin negara masa depan agar kelak menjadi pemimpin yang amanah dan mampu membangun negara secara adil, bijaksana, dan bersih dari korupsi.
3.    Bagi masyarakat
l Sebagai bahan pembelajaran, acuan dan mediasi bagi semua kalangan masyarakat untuk menghindari perilaku korupsi dan menjadi masyarakat yang pro aktif untuk turut mengawasi kinerja pemerintah daerah.
4.    Bagi pemerintah
l Sebagai masukan bagi pemerintah khususnya yang bergerak di bidang APKASI dalam membuat kebijakan dalam kaitannya dengan melaksanakan good local governance yang bersih dari korupsi.

BAB II

PEMBAHASAN


A.   Penyebab Terjadi Maraknya Tindak Pidana Korupsi di Kalangan Pemerintah Daerah

Korupsi didaerah paling banyak dilakukan oleh para pemegang kekuasaan (eksekutif maupun legislatif) yang menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan yang dimiliknya untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun untuk kepentingan kelompok dan glongannya. hal ini terjadi karena beberapa faktor, faktor penyebab yang paling signifikan adalah faktor politik dan kekuasaan, mahalnya ongkos politik mengikuti pilkada langsung menyebabkan sebagian kepala daerah terlibat kasus korupsi, untuk memenangi kontestasi politik tersebut calon kepala daerah terpaksa mengeluarkan uang yang banyak, namun ini tidak mengurangi keinginan banyak orang untuk ikut mencalonkan diri karena posisi kepala daerah dan anggota DPRD dapat menentukan kemana saja APBD dialokasikan dan kelompok mana saja yang akan memperoleh manfaat dari dana itu, celakanya ongkos politik dikeluarkan bukan hanya saat pencalonan dan kampanye saja, setelah berhasil mendapatkan jabatannya, kepala daerah harus mengeluarkan biaya besar untuk memelihara konstituen  dan membayar balas jasa terhadap partai politik pengusung, juga kepada sponsor, yang nantinya dikembalikan dalam bentuk uang, proyek maupun jabatan, lalu darimana semua biaya dapat terbayarkan, sedangkan gaji kepala daerah rata-rata hanya sebesar Rp. 7-8 juta. Inilah kemudian yang mendorong kepala daerah untuk melakukan korupsi, ketika sudah terpilih para kepala daerah bukannya sibuk memikirkan nasib rakyat, namun bagaimana agar hutang-hutangan dapat segera dilunasi, setelah hutang lunas mereka akan terus berupaya mengumpulakan dana untuk membiayai pemilu atau pemilukada periode berikutnya, padahal seharusnya pilkada langsung mampu melahirkan pemimpin yang mampu melayani rakyatnya, Modus yang dilakukan oleh para koruptor pun sangat beragam, mulai dari perjalanan dinas fiktif, penggelembungan dana APBD untuk kepentingan pribadinya, penyelahgunaan kewenangan yang terkait pengadaan barang dan jasa, serta modus baru yang tren sekarang yaitu perselingkuhan antara legislatif dan eksekutif didaerah dimana kepala daerah harus memberikan upeti kepada anggota DPRD.
            Faktor yang kedua adalah faktor ekonomi, faktor ekonomi tidak terlalu      signifikan jika dibandingkan dengan faktor politik dan kekuasaan. Alasannya pun cenderung masih konvensional, yaitu tidak seimbangnya penghasilan dengan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi, hal ini dilatarbelakangi oleh kehidupan pejabat pemerintah daerah yang sangat  glamor, mereka berbelanja barang-barang dari merk terkenal, bermain golf dan berlibur dihotel mewah dengan keluarganya, anak-anak mereka juga mendapatkan pendidikan di sekolah atau perguruan tinggi yang terbaik dikota-kota besar seperti jakarta, bandung, jogjakarta, dan bahkan di luar negeri walaupun banyak diantara anak-anak mereka memiliki IQ yang rendah, dan cenderung memiliki minat belajar yang rendah pula.
Faktor yang ketiga adalah nepotisme. Masih kentalnya semangat nepotisme, baik disektor publik maupun swasta, di daerah-daerah terutama dalam penempatan posisi yang strategis tidak jarang kemudian menimbulkan penyalahgunaan kewenangan, terutama yang bersangkut paut dengan keuangan negara, korupsi banyak dilakukan karena ingin disenangi keluarga, teman dan tetangga, apabila yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajiban sosial tersebut maka ada perasaan khawatir akan dikucilkan. Sebagai ilustrasi seorang pejabat pernah memaksa BKD untuk meluluskan anak  temannya dalam test CPNS karena khawatir nanti ketika beliau pensiun teman-temannya tidak mau mengajaknya minum dikedai kopi. Pejabat lainnya memaksa tim pengadaan barang atau jasa untuk memenangkan perusahaan besarnya hanya karena ingin menjaga hubungan baik dengan menantunya. Di daerah pengertian korupsi lebih terbatas pada praktek-praktek yang terkait dengan uang, seperti mark-up, pertanggung jawaban fiktif, dan lain-lain, penyalahgunaan wewenang yang tidak secara langsung mendatangkan uang, seperti menolong saudara untuk menjadi CPNS, mendapatkan jabatan struktural, atau menang lelang, dianggap bukan korupsi, hanya praktek tolong menolong saja. Untuk pembenaran, kadang-kadang para pejabat tidak segan menjustifikasi perbuatannya dengan menyitir hadis Nabi yang isinya menganjurkan kita untuk menolong keluarga dan orang terdekat kita sebelum menolong orang lain.
Faktor yang keempat adalah korupsi dilakukan guna merintis karir setelah pensiun nanti, pensiun yang berpenghasilan terbatas membuat banyak pejabat pemerintah takut mengahadpi masa pensiun, oleh sebab itu mereka harus memikirkan sejak dini apa yang akan mereka lakukan agar kesejahteraan mereka tetap terjaga, bagi pejabat yang berniat nanti pensiunnya menjadi kepala daerah atau masuk ke politik, maka upaya untuk menanam budi sudah harus dilakukan sejak awal. Mereka harus berupaya menjadi ketua ataupun penasehat dari berbagai organisasi masyarakat, organisasi profesi dan bidang olahraga, mereka juga menjadi pengurus kedaerahan. Kadang-kadang ada yang menjadi pengurus di dua atau tiga organisasi ke daerah yang berbeda, dengan alasan ayahnya dari Aceh, ibunya dari Sumatera, istrinya dari Jawa Timur dan seterusnya, tentu tujuannya agar dikenal dan pada saatnya nanti didukung oleh para anggota organisasi tersebut. Untuk itu, mereka harus mengeluarkan biaya besar yang tentunya diperoleh dari hasil korupsi.
Faktor yang terakhir adalah faktor pengawasan. Lemahnya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga, seperti BPKP maupun Bawasda terhadap penggunaan keuangan negara oleh pejabat-pejabat  publik (eksekutif maupun legislatif) merupakan salah satu faktor penting yang turut menumbuh-suburkan budaya korupsi didaerah-daerah. Fungsi kontrol yang semestinya dijalannkan oleh lembaga legislatif pun pada kenyataannya sering kali tidak efektif, yang disebabkan karena lembaga legislatif itu sendiri pun banyak yang terlibat dalam penyimpangan dan penyalahgunaan keuangan negara yang dilakukan oleh eksekutif, selain kelima faktor diatas faktor yang juga biasa menjerumuskan pemerintah daerah melakukan korupsi adalah karena ketidak hati-hatian dan kurang mengerti terhadap prosedur penganggaran didaerah.
Menelaah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana korupsi didaerah bisa disimpulkan bahwa otonomi daerah tidak bisa disalahkan dan dijadikan penyebab utama adanya serangkaian kasus hukum yang dilakukan oleh kepala daerah.  Konsep otonomi daerah sudah bagus dan ideal, meski terdapat hal yang harus direvisi seperti kontrol yang dilakukan di tingkat provinsi yakni oleh gubernur agar otoritar bupati atau wali kota sesuai dengan prosedur, walaupun memang tidak bisa dipungkiri otonomi daerah membuka peluang kepada pemerintah daerah untuk melakukan penyimpangan, tapi bukan berarti itu di generalisir, nyatanya masih banyak kepala daerah yang bersih.

B.   Upaya Penaggulangan Tindak Pidana Korupsi Di Kalangan Pemerintah Daerah

            Proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum (polisi,  jaksa, dan hakim), khususnya berkenaan dengan perkara korupsi didaerah-daerah dapat dikatakan telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah kasus korupsi yang dapat diungkap oleh aprat-aparat penegak hukum didaerah.  Keberhasilan ini tidak terlepas dari peran serta masyarakat dan lembaga-lembaga independen yang konsen terhadap upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
            Namun, pengungkapan kasus korupsi ini seringkali tidak diimbangi dengan penanganan yang serius, sehingga dalam proses peradilannya  penanganan kasus-kasus tersebut seringkali tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. ”ketidak seriusan” ini sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari dua hal, yaitu: besarnya intervensi politik dan kekuasaan, dan relatif lemahnya moral dan integritas aparat penegak hukum.
            Untuk  mengatasi permasalahan tersebut, petter langseth mengungkapkan bahwa setidak-tidaknya ada empat strategi yang dapat diterapkan untuk mengurangi intensitas korupsi didaerah yaitu:
1.    Memutus serta merampingkan (steramlining) jaringan proses birokrasi yang bernuansa primordial dikalangan penentu kebiajakan, baik itu yang berada dilembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, sehingga tata kerja dan penempatan pejabat pada jabatan atau posisi-posisi tertentu benar-benar dapat dilaksanakan secara akuntabel dan profesional serta dilaksanakan dengan pertimbangan profesionalisme  dan intergritas moral yang tinggi.
2.    Menerapkan sanksi pidana yang maksimal secara tegas, adil dan konsekuen tanpa ada diskriminasi bagi para pelaku korupsi, dalam arti bahwa prinsip-prinsip negara hukum benar-benar harus diterapkan secara tegas dan konsekuen, terutama prinsip equality before of law.
3.    Para penentu kebijakan, baik dibidang pemerintahan maupun dibidang penegakan hukum harus memiliki kesamaan visi, profeseinalisme, komitmen, tanggung jawab dan integritas moral yang tinggi dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi.
4.    Memperjelas serta memperkuat mekanisme perlindungan saksi.
Selain keempat starategi yang dikemukakan oleh langseth diatas, Dye dan Stapenhurst menambahkan bahwa perlu pula dilakukan upaya-upaya untuk memperkuat ” pillars of integrity ” yang melibatkan delapan pillars of integrity sebagai berikut:
1)    Lembaga eksekutif
2)    Lembaga parlemen
3)    Lembaga kehakiman
4)    Lembaga-lembaga pengawas
5)    Media
6)    Sektor swasta
7)    Masyarakat sipil, dan
8)    Lembaga-lembaga penegak hukum
Salah satu upaya penting yang juga harus dilakukan untuk memberantas korupsi di Indonesia, dipemerintahan tingkat pusat umumnya dan pemerintahan tingkat daerah khususnya adalah melakukan transparansi lapran keuangan, seperti hal yang dilakukan oleh pemerintahan jepang, di jepang semua dana anggaran pemerintahan yang telah digunakan di laporkan di  wab khusus pemerintah dan dapat dilihat oleh siapa pun termasuk seluruh masyarakat, bentuk pertanggung jawaban seperti ini sangatlah bagus untuk mengawasi penggunaan anggaran pengelolaan daerah, hal ini dapat meningkatkan partisipasi dan penjagaan masyarakat untuk lebih mudah mengontrol program kerja pemerintah terutama pemerintah daerah. Bukan hanya itu hal yang tidak kalah pentingnya untuk menanggulangi tindak pidana korupsi di daerah adalah moral pemerintah daerah yang harus baik agar melakukan kinerja pemerintahan dengan jujur dan bersih dari korupsi, kesadaran tiap pemerintah daerah bahwa amanah kepemimpnan itu harus dijalankan dengan baik untuk mensejahterakan rakyat dengan penuh kesungguhan karena hasil dari kerja dipemerintahan tidak hanya dipertanggung jawabkan di dunia namun akan jauh lebih berat pertanggung jawabannya diakhirat kelak.  Program otonomi daerah akan berlangsung baik jika korupsi dapat diminimalizir bahkan dihapuskan, karena sejak adanya otonomi daerah konsolidasi demokrasi dalam era otonomi daerah memiliki kemajuan yang sangat signifikan.






















BAB III

PENUTUP

A.   Kesimpulan

Dari berbagai pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.    Korupsi sedikit atau banyak tetap merupakan suatu pelanggaran dan sangat merugikan negara,sehingga harus ditanggulangi.
2.    Akibat dari korupsi menyebabkan berkurangnya kepercayaan masyarakat, berkurangnya kewibawaan pemerintah dalam masyarakat, dan serta hukum tidak lagi dihormati.

B.   Saran

Adapun saran yang dapat diberikan penulis sebagai berikut :
1.   Sebagai generasi muda penerus bangsa agar sejak dini menanamkan sikap jujur, dan cinta bangsa..
2.   Diharapkan kepada pemerintah untuk mengadakan pedngadilan tipikor di daerah-daerah agar korupsi tidak lagi meraja lela dan tindak pidana korupsi bisa cepat ditangani oleh pihak pengadilan, tidak lagi butuh biaya mendatangkan saksi untuk dihadapkan ke pengadilan tipikor dan KPK dipusat

DAFTAR PUSTAKA



  Langseth, petter., R. Stapenhurst dan J. Pope, ” The Role of National Integrity System in Fighting Corruption”, EDI Working Paper, The Economic Develeopment Institute of the World Bank, 1997                 
Langseth, Petter., ”Bagaimana Memerangi Langsung Praktek Korupsi”, dimuat dalam Jurnal Reformasi Ekonomi, Vol. 1 Januari-Maret 2000
Sudana, I Wayan, Otonomi, Korupsi dan Pelyanan Publik, www.google.com 16 April 2013                 







Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking