Nama : Sitti Mutmainanh Syam
Alamat : Jalan
Sultan Alauddin samata-Gowa
Tempat/Tanggal
lahir : Bone, Sulawesi Selatan 08 Desember 1993
Nama
Universitas : Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Alamat
Universitas : Jalan Sultan
Alauddin No.36 Samata-Gowa
TINDAK PIDANA KORUPSI DIKALANGAN PEMERINTAH DAERAH
TERKAIT DENGAN OTONOMI DAERAH
Karya Tulis
Disusun
Oleh :
SITTI MUTMAINNAH SYAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
TAHUN 2013
ABSTRAK
Karya tulis ini
bertujuan untuk mengetahui penyebab maraknya tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh pemerintah daerah yang menimbulkan permasalahan besar sehingga
menghambat good local governance, adapun penyebabnya adalah mahalnya ongkos
politik, faktor ekonomi, nepotisme yang masih membudaya, dan lemahnya
pengawasan untuk mengawasi kinerja pemerintah daerah. Cara menaggulanginya adalah menegakkan hukum secara
sungguh-sungguh, memperkuat ” pillars of integrity ” yang melibatkan
delapan pillars of integrity yaitu a) Lembaga eksekuti, b) Lembaga parlemen, c) Lembaga kehakiman, d)
Lembaga-lembaga pengawas, e) Media, f) Sektor swasta, g) Masyarakat sipil, dan
h) Lembaga-lembaga penegak hukum, selain keterbukaan laporan penggunaan
anggaran pelaksanaan pemerintahan dan moral pemerintah daerah juga merupakan
hal penting untuk menaggulangi tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam
pemerintahan daerah. .
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim...
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya tulis ini dengan baik.
Penyusunan karya tulis yang berjudul ” TINDAK PIDANA KORUPSI DIKALANGAN PEMERINTAH DAERAH
TERKAIT DENGAN OTONOMI DAERAH”, disusun secara khusus untuk diajukan
sebagai Lomba karya tulis otonomi daerah tingkat nasional. Oeh sebab itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih kepada yang terhormat :
1.
Ayahanda ketua APKASI bapak Ir. H. Isran Noor,
MSi sebaga pihak yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk membuat
karya tulis otonomi daerah, sehingga dalam pembuatan karya tulis ini penulis
banyak menemukan pengetahuan baru terkait pentingnya otonomi daerah sebagai
penguat negara kesatuan republik Indonesia. Kepada kedua orang tua penulis yang
selalu memberikan semangat baik dari segi materil maupun non materil kepada
penulis dalam menyelesaikan karya tuis ini
2.
Kepada teman-teman penulis serta semua pihak
yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Akhirnya penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna.
Tapi dengan keyakinan semua harus berawal dari belajar. Oleh karena itu kritik
dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Samata,
12 April 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semangat reformasi dan demokratisasi yang dihembuskan
sebagai bentuk perubahan yang dilakukan terhadap peran
negara yang begitu dominan yang dikelola secara sentralistik dan otoriter
menimbulkan gagasan tentang desentralisasi yang kemudian menjadi energi baru
bagi masyarakat untuk melakukan suatu perubahan. Fenomena ini sangat menggejala
dipertengahan tahun 1999. Dukungan yang luas terhadap gelombang desentralisasi
memunculkan pertanyaan tentang kapasitas institusi lokal dalam merespon
perubahan tersebut. Kapasitas ini terkait dengan ranah pengembangan demokrasi,
pelayanan publik, ekonomi dan sebagainya.
Dari sisi hukum, UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun
1999, mendestralisasikan kekuasaan secara radikal dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah. Karena itu, ketika secara resmi mulai digulirkan tahun 2011,
masyarakat menyambut dengan antusias. Jarak yang semakin dekat antara
masyarakat dengan pemerintah selaku penyelenggara kekuasaan negara ditingkat
daerah, mendorong tumbuhnya partisipasi masyarakat. Banyak kelompok pengawas,
organisasi non pemerintah, lembaga penelitian dan kampus hingga kelompok aksi
mahasiswa mulai mengarahkan perhatian pada persoalan daerah. Pemberian otonomi
kepada daerah-daerah adalah sebagai konsekuensi penyelenggaraan asas
desentralisasi, dimana dalam hal ini adanya pelimpahan kekuasaan atau wewenang
kepada pemerintah daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun, dalam otonomi daerah tidak hanya
kekuasaan yang terdesentralisasi akan tetapi juga diikuti oleh korupsi,
maraknya kasus korupsi dikalangan pemerintah daerah menunjukan bahwa penyebaran
korupsi didaerah sudah pada tahap yang sangat
serius, dan telah menjalar dari sabang sampai marauke, hal ini adalah
situasi genting karena tidak pernah terjadi sebelumnya. Kasus korupsi
anggaran yang terjadi di daerah-daerah
hampir diseluruh Indonesia menunjukkan freelance corruption, dimana ditengah keterbatasan dana pembangunan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam prakteknya otonomi daerah memang tidaklah seindah
yang dibayangkan, kekuasaan yang didesentralisasi secara radikal memunculkan
praktek-praktek krupsi di tingkat lokal. Tidak dibayangkan sebelumnya, anggota
DPRD bersama dengan eksekutif melakukan berbagai macam praktek korupsi, dalam
banyak kasus, perilaku korup itu dilakukan secara terbuka dan telanjang. Kalau tidak segera
Ditangani
boleh jadi akan muncul kekecewaan terhadap program otonomi daerah sehingga
kekhawatiran akan muncul resentralisasi kekuasaan oleh pemerintah pusat
karena
menganggap otonomi daerah tidak memberikan hasil positif terhadap pembangunan
bangsa.
Dari
berbagai penjelasan di atas telah melatarbelakangi penulis sebagai remaja generasi
penerus bangsa dalam
menyusun karya tulis yang berjudul “
TINDAK PIDANA KORUPSI DIKALANGAN PEMERINTAH DAERAH TERKAIT DENGAN OTONOMI
DAERAH “.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang ada dan pemilihan judul, adapun beberapa masalah yang
ditemukan penulis yang kemudian dirumuskan sebagai berikut :
1.
Apa penyebab terjadi maraknya korupsi
dikalangan pemerintah daerah ?
2.
Bagaimana upaya penanggulangan tindak pidana korupsi
dikalangan pemerintah daerah?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penulisan
karya tulis ini yaitu :
1.
Untuk mengetahui sebab terjadinya tindak pidana korupsi
dikalangan pemerintah daerah.
2.
Untuk mengetahui upaya penaggulangan terjadinya tindak
pidana korupsi dikalangan pemerintah daerah.
D. Manfaat Karya
Tulis
Adapun
harapan penulis terhadap karya tulis ini agar dapat bermanfaat :
1.
Bagi mahasiswa
l Sebagai bahan pembelajaran bagi mahasiswa
sebagai penerus bangsa agar menjunjung tinggi kejujuran guna menghindari
perilaku tercela yaitu korupsi yang sangat merugikan negara serta menghambat
besar good local governance.
2.
Bagi tenaga pendidik
l Sebagai
bahan pedoman bagi tenaga pendidik untuk
menanamkan nilai-nilai kejujuran kepada generasi muda calon pemimpin negara
masa depan agar kelak menjadi pemimpin yang amanah dan mampu membangun negara
secara adil, bijaksana, dan bersih dari korupsi.
3.
Bagi masyarakat
l Sebagai
bahan pembelajaran, acuan dan mediasi bagi semua kalangan masyarakat untuk
menghindari perilaku korupsi dan menjadi masyarakat yang pro aktif untuk turut
mengawasi kinerja pemerintah daerah.
4.
Bagi pemerintah
l Sebagai
masukan bagi pemerintah khususnya yang bergerak di bidang APKASI dalam membuat
kebijakan dalam kaitannya dengan melaksanakan good local governance yang bersih
dari korupsi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penyebab Terjadi Maraknya Tindak Pidana Korupsi di Kalangan Pemerintah Daerah
Korupsi didaerah paling banyak dilakukan oleh
para pemegang kekuasaan (eksekutif maupun legislatif) yang menyalahgunakan
kekuasaan dan kewenangan yang dimiliknya untuk mendapatkan keuntungan pribadi
maupun untuk kepentingan kelompok dan glongannya. hal ini terjadi karena beberapa
faktor, faktor penyebab yang paling signifikan adalah faktor politik dan
kekuasaan, mahalnya ongkos politik mengikuti pilkada langsung menyebabkan
sebagian kepala daerah terlibat kasus korupsi, untuk memenangi kontestasi
politik tersebut calon kepala daerah terpaksa mengeluarkan uang yang banyak,
namun ini tidak mengurangi keinginan banyak orang untuk ikut mencalonkan diri
karena posisi kepala daerah dan anggota DPRD dapat menentukan kemana saja APBD
dialokasikan dan kelompok mana saja yang akan memperoleh manfaat dari dana itu,
celakanya ongkos politik dikeluarkan bukan hanya saat pencalonan dan kampanye
saja, setelah berhasil mendapatkan jabatannya, kepala daerah harus mengeluarkan
biaya besar untuk memelihara konstituen
dan membayar balas jasa terhadap partai politik pengusung, juga kepada
sponsor, yang nantinya dikembalikan dalam bentuk uang, proyek maupun jabatan,
lalu darimana semua biaya dapat terbayarkan, sedangkan gaji kepala daerah
rata-rata hanya sebesar Rp. 7-8 juta. Inilah kemudian yang mendorong kepala
daerah untuk melakukan korupsi, ketika sudah terpilih para kepala daerah
bukannya sibuk memikirkan nasib rakyat, namun bagaimana agar hutang-hutangan
dapat segera dilunasi, setelah hutang lunas mereka akan terus berupaya
mengumpulakan dana untuk membiayai pemilu atau pemilukada periode berikutnya,
padahal seharusnya pilkada langsung mampu melahirkan pemimpin yang mampu
melayani rakyatnya, Modus yang dilakukan oleh para koruptor pun sangat beragam,
mulai dari perjalanan dinas fiktif, penggelembungan dana APBD untuk kepentingan
pribadinya, penyelahgunaan kewenangan yang terkait pengadaan barang dan jasa,
serta modus baru yang tren sekarang yaitu perselingkuhan antara legislatif dan
eksekutif didaerah dimana kepala daerah harus memberikan upeti kepada anggota
DPRD.
Faktor yang kedua adalah faktor
ekonomi, faktor ekonomi tidak terlalu
signifikan jika dibandingkan dengan faktor politik dan kekuasaan.
Alasannya pun cenderung masih konvensional, yaitu tidak seimbangnya penghasilan
dengan kebutuhan hidup yang harus dipenuhi, hal ini dilatarbelakangi oleh
kehidupan pejabat pemerintah daerah yang sangat
glamor, mereka berbelanja barang-barang dari merk terkenal, bermain golf
dan berlibur dihotel mewah dengan keluarganya, anak-anak mereka juga
mendapatkan pendidikan di sekolah atau perguruan tinggi yang terbaik
dikota-kota besar seperti jakarta, bandung, jogjakarta, dan bahkan di luar
negeri walaupun banyak diantara anak-anak mereka memiliki IQ yang rendah, dan
cenderung memiliki minat belajar yang rendah pula.
Faktor yang ketiga adalah nepotisme. Masih
kentalnya semangat nepotisme, baik disektor publik maupun swasta, di
daerah-daerah terutama dalam penempatan posisi yang strategis tidak jarang
kemudian menimbulkan penyalahgunaan kewenangan, terutama yang bersangkut paut
dengan keuangan negara, korupsi banyak dilakukan karena ingin disenangi
keluarga, teman dan tetangga, apabila yang bersangkutan tidak melaksanakan
kewajiban sosial tersebut maka ada perasaan khawatir akan dikucilkan. Sebagai
ilustrasi seorang pejabat pernah memaksa BKD untuk meluluskan anak temannya dalam test CPNS karena khawatir
nanti ketika beliau pensiun teman-temannya tidak mau mengajaknya minum dikedai
kopi. Pejabat lainnya memaksa tim pengadaan barang atau jasa untuk memenangkan
perusahaan besarnya hanya karena ingin menjaga hubungan baik dengan menantunya.
Di daerah pengertian korupsi lebih terbatas pada praktek-praktek yang terkait
dengan uang, seperti mark-up, pertanggung jawaban fiktif, dan lain-lain,
penyalahgunaan wewenang yang tidak secara langsung mendatangkan uang, seperti
menolong saudara untuk menjadi CPNS, mendapatkan jabatan struktural, atau
menang lelang, dianggap bukan korupsi, hanya praktek tolong menolong saja.
Untuk pembenaran, kadang-kadang para pejabat tidak segan menjustifikasi
perbuatannya dengan menyitir hadis Nabi yang isinya menganjurkan kita untuk
menolong keluarga dan orang terdekat kita sebelum menolong orang lain.
Faktor yang keempat adalah korupsi dilakukan
guna merintis karir setelah pensiun nanti, pensiun yang berpenghasilan terbatas
membuat banyak pejabat pemerintah takut mengahadpi masa pensiun, oleh sebab itu
mereka harus memikirkan sejak dini apa yang akan mereka lakukan agar
kesejahteraan mereka tetap terjaga, bagi pejabat yang berniat nanti pensiunnya
menjadi kepala daerah atau masuk ke politik, maka upaya untuk menanam budi
sudah harus dilakukan sejak awal. Mereka harus berupaya menjadi ketua ataupun
penasehat dari berbagai organisasi masyarakat, organisasi profesi dan bidang
olahraga, mereka juga menjadi pengurus kedaerahan. Kadang-kadang ada yang
menjadi pengurus di dua atau tiga organisasi ke daerah yang berbeda, dengan
alasan ayahnya dari Aceh, ibunya dari Sumatera, istrinya dari Jawa Timur dan
seterusnya, tentu tujuannya agar dikenal dan pada saatnya nanti didukung oleh
para anggota organisasi tersebut. Untuk itu, mereka harus mengeluarkan biaya
besar yang tentunya diperoleh dari hasil korupsi.
Faktor yang terakhir adalah faktor
pengawasan. Lemahnya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga,
seperti BPKP maupun Bawasda terhadap penggunaan keuangan negara oleh
pejabat-pejabat publik (eksekutif maupun
legislatif) merupakan salah satu faktor penting yang turut menumbuh-suburkan
budaya korupsi didaerah-daerah. Fungsi kontrol yang semestinya dijalannkan oleh
lembaga legislatif pun pada kenyataannya sering kali tidak efektif, yang
disebabkan karena lembaga legislatif itu sendiri pun banyak yang terlibat dalam
penyimpangan dan penyalahgunaan keuangan negara yang dilakukan oleh eksekutif,
selain kelima faktor diatas faktor yang juga biasa menjerumuskan pemerintah
daerah melakukan korupsi adalah karena ketidak hati-hatian dan kurang mengerti
terhadap prosedur penganggaran didaerah.
Menelaah faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya tindak pidana korupsi didaerah bisa disimpulkan bahwa otonomi daerah
tidak bisa disalahkan dan dijadikan penyebab utama adanya serangkaian kasus
hukum yang dilakukan oleh kepala daerah. Konsep otonomi daerah sudah bagus dan ideal,
meski terdapat hal yang harus direvisi seperti kontrol yang dilakukan di
tingkat provinsi yakni oleh gubernur agar otoritar bupati atau wali kota sesuai
dengan prosedur, walaupun memang tidak bisa dipungkiri otonomi daerah membuka
peluang kepada pemerintah daerah untuk melakukan penyimpangan, tapi bukan
berarti itu di generalisir, nyatanya masih banyak kepala daerah yang bersih.
B. Upaya Penaggulangan Tindak Pidana Korupsi Di Kalangan Pemerintah Daerah
Proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim), khususnya berkenaan dengan
perkara korupsi didaerah-daerah dapat dikatakan telah mengalami kemajuan yang
cukup signifikan dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini ditunjukkan
dengan meningkatnya jumlah kasus korupsi yang dapat diungkap oleh aprat-aparat
penegak hukum didaerah. Keberhasilan ini
tidak terlepas dari peran serta masyarakat dan lembaga-lembaga independen yang
konsen terhadap upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Namun, pengungkapan kasus korupsi
ini seringkali tidak diimbangi dengan penanganan yang serius, sehingga dalam
proses peradilannya penanganan
kasus-kasus tersebut seringkali tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat.
”ketidak seriusan” ini sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari dua hal, yaitu:
besarnya intervensi politik dan kekuasaan, dan relatif lemahnya moral dan
integritas aparat penegak hukum.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, petter
langseth mengungkapkan bahwa setidak-tidaknya ada empat strategi yang dapat
diterapkan untuk mengurangi intensitas korupsi didaerah yaitu:
1. Memutus serta merampingkan (steramlining) jaringan proses birokrasi yang
bernuansa primordial dikalangan penentu kebiajakan, baik itu yang berada
dilembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, sehingga tata kerja dan penempatan
pejabat pada jabatan atau posisi-posisi tertentu benar-benar dapat dilaksanakan
secara akuntabel dan profesional serta dilaksanakan dengan pertimbangan
profesionalisme dan intergritas moral
yang tinggi.
2. Menerapkan sanksi pidana yang maksimal secara tegas, adil dan konsekuen
tanpa ada diskriminasi bagi para pelaku korupsi, dalam arti bahwa
prinsip-prinsip negara hukum benar-benar harus diterapkan secara tegas dan
konsekuen, terutama prinsip equality before of law.
3. Para penentu kebijakan, baik dibidang pemerintahan maupun dibidang
penegakan hukum harus memiliki kesamaan visi, profeseinalisme, komitmen,
tanggung jawab dan integritas moral yang tinggi dalam menyelesaikan kasus-kasus
korupsi.
4. Memperjelas serta memperkuat mekanisme perlindungan saksi.
Selain keempat starategi yang dikemukakan
oleh langseth diatas, Dye dan Stapenhurst menambahkan bahwa perlu pula
dilakukan upaya-upaya untuk memperkuat ” pillars of integrity ” yang melibatkan
delapan pillars of integrity sebagai berikut:
1) Lembaga eksekutif
2) Lembaga parlemen
3) Lembaga kehakiman
4) Lembaga-lembaga pengawas
5) Media
6) Sektor swasta
7) Masyarakat sipil, dan
8) Lembaga-lembaga penegak hukum
Salah
satu upaya penting yang juga harus dilakukan untuk memberantas korupsi di
Indonesia, dipemerintahan tingkat pusat umumnya dan pemerintahan tingkat daerah
khususnya adalah melakukan transparansi lapran keuangan, seperti hal yang
dilakukan oleh pemerintahan jepang, di jepang semua dana anggaran pemerintahan
yang telah digunakan di laporkan di wab
khusus pemerintah dan dapat dilihat oleh siapa pun termasuk seluruh masyarakat,
bentuk pertanggung jawaban seperti ini sangatlah bagus untuk mengawasi
penggunaan anggaran pengelolaan daerah, hal ini dapat meningkatkan partisipasi
dan penjagaan masyarakat untuk lebih mudah mengontrol program kerja pemerintah
terutama pemerintah daerah. Bukan hanya itu hal yang tidak kalah pentingnya
untuk menanggulangi tindak pidana korupsi di daerah adalah moral pemerintah daerah
yang harus baik agar melakukan kinerja pemerintahan dengan jujur dan bersih
dari korupsi, kesadaran tiap pemerintah daerah bahwa amanah kepemimpnan itu
harus dijalankan dengan baik untuk mensejahterakan rakyat dengan penuh
kesungguhan karena hasil dari kerja dipemerintahan tidak hanya dipertanggung
jawabkan di dunia namun akan jauh lebih berat pertanggung jawabannya diakhirat
kelak. Program otonomi daerah akan
berlangsung baik jika korupsi dapat diminimalizir bahkan dihapuskan, karena
sejak adanya otonomi daerah konsolidasi demokrasi dalam era otonomi daerah
memiliki kemajuan yang sangat signifikan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari berbagai pembahasan, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Korupsi
sedikit atau banyak tetap merupakan suatu pelanggaran dan sangat merugikan
negara,sehingga harus ditanggulangi.
2. Akibat dari korupsi menyebabkan berkurangnya kepercayaan masyarakat,
berkurangnya kewibawaan pemerintah dalam masyarakat, dan serta hukum tidak lagi
dihormati.
B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan penulis sebagai berikut
:
1.
Sebagai generasi muda penerus bangsa agar
sejak dini menanamkan sikap jujur, dan cinta bangsa..
2.
Diharapkan kepada pemerintah untuk mengadakan pedngadilan
tipikor di daerah-daerah agar korupsi tidak lagi meraja lela dan tindak pidana
korupsi bisa cepat ditangani oleh pihak pengadilan, tidak lagi butuh biaya
mendatangkan saksi untuk dihadapkan ke pengadilan tipikor dan KPK dipusat
DAFTAR PUSTAKA
Langseth, petter., R. Stapenhurst dan J.
Pope, ” The Role of National Integrity System in Fighting Corruption”, EDI
Working Paper, The Economic Develeopment Institute of the World Bank, 1997
Langseth, Petter., ”Bagaimana Memerangi
Langsung Praktek Korupsi”, dimuat dalam Jurnal Reformasi Ekonomi, Vol. 1
Januari-Maret 2000
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking