PERBEDAAN SUNNAH DAN HADIS
Sunnah
dan hadis itu pada hakikatnya sama, sunnah adalah segala perbuatan,kebiasaan,
perkataan nabi sejak ia lahir sampai meninggal dunia, sunnah tidak tertulis dan
ada saat rasulullah masih hidup sehingga tidak ada sunnah yang palsu, sedangkan
hadis adalah perkataan, perbuatan, dan kebiasaan rasulullah, yang berbentuk
teks, karena hadis ada setelah rasulullah wafat, sehinggaada hadis yang palsu.
Adapula pendapat
yang mengatakan bahwa dari sudut pandang terminologis, para Ahli Hadits tidak
membedakan antara Hadits dan Sunnah. Menurut mereka, Hadits atau sunnah adalah
hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan,
penetapan, maupun sifat-sifat ini baik berupa sifat-sifat pisik, moral, maupun,
perilaku, dan hal itu baik sebelum beliau menjadi Nabi maupun sesudahnya.
Sementara para pakar Ilmu Ushul Fiqhi membedakan antara Hadits dan Sunnah.
Menurut mereka, Sunnah adalah perkataan, perbuatan, dan penetapan Nabi SAW.
Sedangkan Hadits adalah perkataan, perbuatan, penetapan dan sifat-sifat Nabi
SAW. Jadi mereka tidak menganggap sifat-sifat Nabi SAW itu sebagai Sunnah,
melainkan sebagai Hadits. Berbeda dengan pakar Hadits yang menganggap
sifat-sifat Nabi SAW juga sebagai Sunnah.[10]
Perbedaan
definisi ini berangkat dari perbedaan mereka dalam memandang Hadits sebagai
sumber hukum dan moral dalam agama Islam. Para pakar Ilmu Ushul Fiqih, karena
pekerjaan mereka adalah menggali hukum Islam dari al-Qur’an an Hadits, maka
bagi mereka, hal-hal yang bersal dari Nabi SAW dan dapat dijadikan sebagai
sumber hukum Islam itu adalah perkataan, perbuatan, dan penetapan beliau.
Sedangkan sifat-sifat Nabi SAW tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum
Islam.
Sementara
para Ulama Hadits melihat bahwa sosok pribadi Nabi SAW adalah seorang pemimpin
dan pemberi petunjuk kepada umatnya, dimana perkataan, perbuatan, penetapan,
dan sifat-sifat beliau perlu dijadikan contoh dan anutan bagi mereka.
Karenanya, para Ulama Hadits tidak membedakan apakah hal itu berkaitan dengan
hukum dan moral. Jadi menurut para Ulama Hadits semua yang bersal ari Nabi SAW
menjadi sumber aturan-aturan dalam agama Islam.[11]
Terlepas
dari perbedaan itu, istilah Sunnah tampaknya lebih mendominasi peristilahan
kalangan pakar Ushul Fiqih sementara istilah Hadits lebih banyak dipergunakan
oleh Ahli-ahli Hadits.
PERBEDAAN AL-QUR’AN DAN AL-HADIS
Sekalipun al Qur'an dan as Sunnah/ al Hadits sama-sama sebagai sumber hukum Islam, namun di antara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil.
Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain:
1) Nilai kebenaran al Qur'an adalah "qoth'i" (absolut), sedangkan al Hadits adalah "zhanni" (kecuali hadits mutawatir)
2) Seluruh ayat al Qur'an mesti dijadikan sebagai pedoman hidup.
Tetapi tidak semua hadits mesti kita jadikan sebagai pedoman hidup.
Sebab disamping ada sunnah yang tasyri' ada juga sunnah yang ghoiru tasyri'.
Disamping ada hadits yang shohih, ada pula hadits yang dho'if dan seterusnya.
3) Al Qur'an sudah pasti otentik lafazh dan maknanya, sedangkan hadits tidak
4) Apabila al Qur'an berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghoib maka setiap muslim wajib mengimaninya.
Tetapi tidak demikian apabila masalah tersebut diungkapkan oleh hadits (ada yang wajib diimani dan ada yang tidak).
SEJARAH
PERKEMBANGAN HADIS
A. Periwayatan Hadis Masa Nabi Muhammad SAW
Nabi dalam melaksanakan tugas
sucinya yakni sebagai Rasul berdakwah, menyampaikan dan mengajarkan risalah
islamiyah kepada umatnya. Nabi sebagai sumber hadis menjadi figur sentral yang
mendapat perhatian para sahabat. Segala aktifitas beliau seperti perkataan,
perbuatan dan segala keputusan beliau diingat dan disampaikan kepada sahabat
lain yang tidak menyaksikannya, karena tidak seluruh sahabat dapat hadir di
majelis Nabi dan tidak seluruhnya selalu menemani beliau. Bagi mereka yang
hadir dan mendapatkan hadits dari beliau berkewajiban menyampaikan apa yang
dilihat dan apa yang didengar dari Rasulullah SAW. Baik ayat-ayat Al-Qur’an
maupun Hadits-Hadits dari Rasulullah. Mereka sangat antusias dan patuh pada
perintah-perintah Nabi SAW.
Hadis yang diterima oleh para
sahabat cepat tersebar di masyarakat. Karena, para sahabat pada umumnya sangat
berminat untuk memperoleh hadis Nabi dan kemudian menyampaikannya kepada orang
lain. Hal ini terbukti dengan beberapa pengakuan sahabat Nabi sendiri, misalnya
sebagai berikut:
‘Umar bin al-Kaththab telah
membagi tugas dengan tetangganya untuk mencari berita yang berasal dari Nabi.
Kata ‘Umar, bila, tetangganya hari ini menemui Nabi, maka ‘Umar pada esok
harinya menemui Nabi. Siapa yang bertugas menemui Nabi dan memperoleh berita
yang berasal atau berkenaan dengan Nabi, maka dia segera menyampaikan berita
itu kepada yang tidak bertugas. Dengan demikian, para sahabat Nabi yang
kebetulan sibuk tidak sempat menemui Nabi, mereka tetap juga dapat memperoleh
hadis dari sahabat yang sempat bertemu dengan Nabi. Malik bin al-Huwayris
menyatakan
ا تيت ا لنبي ص ف نفر من قؤ مي فا قمنا عند ه عشر ين ليلة ؤ كا ن ر حيما ر فيق فلما ر ا ي شؤ قنا ا لي ا ها لينا قا ل : ا ر جعؤ ا فكؤ نؤا فيهم ؤ علمؤ هم ؤ صلؤا فا ذاحضرت الصلا ة فليؤذن لكم احدكم ؤايؤمكم اكبركم.(روه البخاي عن ما لك بن الحؤيرث)
Saya (Malik
bin al-Huwayris) dalam satu rombongan kaum saya datang kepada Nabi saw. Kami
tinggal disisi beliau selama dua puluh malam. Beliau adalah seorang penyayang
dan akrab. Tatkala beliau melihat kami telah merasa rindu kepada para keluarga
kami, beliau bersabda; “Kalian pulanglah, tinggallah bersama keluarga kalian,
ajarlah mereka, dan lakukan shalat bersama mereka.
Al-Bara’ bin ‘Azib al-Awsiy telah menyatakan:
ليس كلنا كا ن يسمع حد يث ر سؤ ل الله ص ك نت لنا ضيعه ؤ ا شغا ل ؤ لكن ا لنا س لم يكؤ نؤا يكذ
بؤ ن يؤ مءذ فيحد ث ا لشا هد ا لغا ءب
Tidaklah kami semua (dapat langsung) mendengar hadis Rasulullah
saw. (Kerena diantara) kami ada yang tidak memiliki waktu, atau sangat sibuk.
Akan tetapi ketika itu orang-orang tidak ada yang berani melakukan kedustaan (terhadap
hadis Nabi). Orang-orang yang hadir (menyaksikan terjadinya hadis Nabi)
memberitakan (hadis itu) kepada orang-orang yang tidak hadir.
Pernyataan al-Bara’ ini memberi
petunjuk: (1) Hadis yang diketahui oleh sahabat tidaklah seluruhnya langsung
diterima dari Nabi, melainkan ada juga yang diterima melalui sahabat lain; (2)
walaupun para sahabat banyak yang sibuk, tetapi kesibukan itu tidak menghalangi
kelancaran penyebaran hadis Nabi.
Para sahabat menerima hadits
secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat
Nabi SAW. Memberi ceramah, pengajian, khotbah atau penjelasan terhadap
pertanyaan-pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak langsung
adalah mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari
utusan yang dikirim oleh Nabi ke daerah-daerah atau utusan daerah yang datang
kepada Nabi.
Pada masa Nabi SAW. Kepandaian
baca tulis dikalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas
sekali. Karena kecakapan baca tulis dikalangan sahabat masih kurang, Nabi
menekankan untuk menghafal, memahami, memelihara, mematerikan dan memantapkan
hadits dalam amalan sehari-hari, serta mentabligkannya kepada orang lain.
Tidak ditulisnya hadits secara
resmi pada masa Nabi, bukan berarti tidak ada sahabat yang menulis hadits.
Dalam sejarah penulisan hadits terdapat nama-nama sahabat yang menulis hadits,
diantaranya:
a. ‘Abdullah
ibn Amr ibn ‘Ash (w. 65 H/685 M), shahifahnya disebut Ash-Shadiqah.
b. Ali
ibn Abi Thalib (w.40 H/611 M), penulis hadits tentang hukum diyat, hukum
keluarga, dll
c. Anas
bin Malik
d. Sumrah
ibn Jundab (w.60 H/680 M)
e. Abdullah
ibn Abbas (w. 69 H/689 M)
f. Jabir
ibn ‘Abdullah al-Anshari (w. 78 H/697 M)
g. Abdullah
ibn Abi Awfa’ (w.86 H)
Dalam menyampaikan
hadits-haditsnya, Nabi menempuh beberapa cara, yaitu :
Pertama, melalui majelis al-‘ilm, yaitu
pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membinah para jemaah,
melalui majelis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima
hadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk
mengikuti kegiatannya.
Kedua, dalam banyak kesempatan
Rasulullah jg menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, yang
kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya kepada orang lain. Hal ini
karena terkadang ketika nabi menyampaikan suatu hadits, para sahabat yang hadir
hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh Rasulullah sendiri atau
secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan
hanya satu orang saja.
Ketiga, untuk hal-hal sensitif,
seperti yang berkaitan dengan soal keuarga dan kebutuhan biologis, terutama
yang menyangkut hubungan suami istri, Nabi menyampaikan melalui istri-istrinya.
Seperti kasus ketika Nabi menjelaskan tentang seorang wanita yang bertanya
kepada Nabi SAW. Tentang mandi wanita yang telah suci dari haidnya. Nabi
menyuruh wanita itu untuk mandi sebagaiman mestinya, tetapi ia belum mengetahui
bagaimana cara mandi sehingga Nabi bersabda : “Ambillah seperca kain (yang
telah diolesi dengan wangi-wangian) dari kasturi, maka bersihkanlah dengannya”.
Wanita itu bertanya lagi, “bagaimana saya membersihkannya?” Nabi bersabda :
“Bersihkanlah dengannya”. Wanita tersebut masih bertanya lagi, “bagaimana
(caranya)?” Nabi bersabda : Subhanallah hendaklah kamu bersihkan”. Maka
‘Aisyah, istri Nabi berkata : “Wanita itu saya tarik kearah saya dan saya
katakan kepadanya, “Usapkanlah seperca kain itu ke tempat bekas darah”. Pada
hadits ini, Nabi dibantu oleh ‘Aisyah, istrinya, untuk menjelaskan hal sensitif
berkenaan dengan kewanitaan. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal
yang berkaitan dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul SAW.
Sering kali mereka bertanya kapada istri-istrinya.
Keempat, melalui ceramah atau
pidato di tempat terbuka, seperti ketika futuh Mekkah dan haji wada’. Ketika
menunaikan ibadah Haji pada tahun 10 H (631 M), Nabi menyampaikan Khotbah yang
sangat bersejarah di depan ratusan ribu kaum muslimin yang melakukan ibadah
haji, yang isinya banyak terkait dengan bidang muamalah, siyasah, jinayah, dan
hak asasi manusia.
Kelima, melalui perbuatan
langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya, yaitu dengan jalan musyahadah,
seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan muamalah.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Nabi lalu Nabi menjelaskan hukumnya dan
berita itu tersebar dikalangan umat islam. Misalnya suatu ketika Nabi
berjalan-jalan di pasar dan bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang
membeli makanan (gandum), Nabi menyuruhnya memasukkan tangannya kedalam gandum
tersebut, dan ternyata di dalamnya basah, lalu Nabi bersabda :
ليس منا من غش
“Tidak termasuk golongan kami
orang yang menipu”.
Secara resmi memang Nabi
melarang menulis hadits bagi umum karena khawatir campur antara hadits dan
Al-Qur’an. Jika prasarana yang sangat sederhana Al-Qur’an dan Hadits ditulis
diatasnya dalam bentuk satu catatan atau satu lembar pelepah kurma, sulit untuk
membedakan antara Al-Qur’an dan Hadits.
Banyak hadits yang melarang para
sahabat untuk menulisnya, tetapi banyak juga hadits yang perintah menulisnya.
Diantara hadits yang melarang penulisannya adalah sebagai berikut :
Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah SAW.
Bersabda : “Janganlah engkau tulis dari padaku, barang siapa yang menulis dari
padaku selain Al-Qur’an maka hapuslah. (HR. Muslim)
Sedang Hadits yang
memperbolehkan penulisan sunnah juga banyak sekali, diantaranya ialah :
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa ada
seorang laki-laki dari sahabat anshar menyaksikan hadits Rasulullah tetapi
tidak hafal, kemudian bertanya kepada Abu Hurairah maka ia memberitakannya.
Kemudian ia mengadu kepada Rasulullah SAW. Tentang hafalannya yang minim
tersebut, maka Nabi bersabda :
عل حفظك بيمينكاستعن
Bantulah hafalanmu dengan tanganmu (HR. At-Tirmidzi)
Dalam mencari solusi dua versi
yang kontra di atas para ulama berbeda pendapat. Diantaranya mereka berpendapat
bahwa hadits yang melarang penulisan di hapus (di-nasakh) dengan hadits yang
membolehkannya. Lebih dari itu al-Bukhari berpendapat hadits larangan penulisan
yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri mauquf pada Abu Sa’id al-Khudri.
Bahkan semua hadis larangan penulisan berkualitas dha’if, kurang kuat dijadikan
alasan. Dengan demikian penulisan hadits tetap diperbolehkan bahkan
diperintahkan dalam rangka memelihara sunnah sebagai sumber syari’ah islamiyah
sampai sekarang dan kesimpulan inilah yang disepakati para ulama.
Disamping itu, ketika Nabi SAW.
Menyelenggarakan dakwah dan pembinaan umat, beliau sering mengirimkan
surat-surat seruan pemberitahuan, antara lain kepada para pejabat di daerah dan
surat tentang seruan dakwah islamiyah kepada para raja dan kabilah, baik di
timur, utara dan barat, surat-surat tersebut merupakan koleksi hadits-hadits
juga. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa pada masa Nabi SAW. Telah dilakukan
penulisan hadits dikalangan sahabat.
B. Periwayatan Hadis pada Masa Sahabat
Setelah Nabi wafat (11 H = 632
M), sahabat tidak dapat lagi mendengar sabda-sabda, menyaksikan
perbuatan-perbuatan dan hal ihwal Nabi secara langsung. Kepada umatnya beliau
juga meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu
Al-Qur’an dan Hadits (as-Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek
kehidupan umat.
kendali kepemimpinan ummat
islam berada ditangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima
kepemimpinan itu adalah Abu Bakar al-Shiddiq (wafat 13 H = 634 M), kemudian
disusul oleh ‘Umar bin al-Khaththab (wafat 23 H = 644 M), ‘Usman bin ‘Affan
(wafat 35 H = 656 M), dan ‘Aliy bin Abiy Thalib (wafat 40 H = 661 M), keempat
khalifa ini dalam sejarah dikenal denga sebutan al-Khulafa’ al-Rasyidin dan
periodenya biasa disebut dengan Zaman Sahabat Besar.
Periwayatan hadits pada masa
sahabat terutama masa al-Khulafa’ al-Rasyidun sejak tahun 11 H sampai 40 H,
belum begitu berkembang. Pada satu sisi, perhatian para sahabat masih terfokus
pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an dan mereka berusaha membatasi
periwayatan hadits tersebut. Masa ini disebut dengan masa pembatasan dan
memperketat periwayatan (al-tatsabbut wa al-‘iqlah min al-riwayah). Pada sisi
lain, meskipun perhatian sahabat terpusat pada pemeliharaan dan penyebaran
Al-Qur’an, tidak berarti mereka tidak memegang hadits sebagaimana halnya yang
mereka diterima secara utuh ketika Nabi masih hidup. Mereka sangat berhati-hati
dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadits itu.
Berikut ini dikemukakan sikap
al- Khulafa’ al-Rasyidin tentang periwayatan hadis Nabi.
Ø Abu Bakar al-Shiddiq
Menurut muhammad bin Ahmad
al-Dzahabiy (wafat 748 H = 1347 M), Abu Bakar merupakan sahabat Nabi yang
pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadis. Pernyataan
al-Dzahabiy ini didasarkan atas pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus
waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek menghadap kepada
Khalifa Abu Bakar, memintah hak waris dari harta yang ditinggal oleh cucunya.
Abu Bakar menjawab, bahwa dia tidak melihat petunjuk Quran dan praktek Nabi
yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanya
kepada para sahabat. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa
nabi telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam bagian.
Kasus diatas memberikan
petunjuk, bahwa Abu Bakar ternyata tidak bersegara menerima riwayat hadis,
sebelum meneliti periwayatannya. Dalam melakukan penelitian, Abu Bakar meminta
kepada periwayat hadis untuk menghadirkan saksi.
Karena Abu Bakar sangat
berhati-hati dalam periwayatan hadis, maka dapat dimaklumi bila jumlah hadis
yang diriwayatkan relatif tidak banyak.Padahal dia seorang sahabat yang telah
bergaul lama dengan dan sangat akarab dengan Nabi, mulai dari zaman sebelum
Nabi hijrah ke Madinah sampai Nabi wafat. Dalam pada itu harus pula dinyatakan,
bahwa sebab lain sehingga Abu Bakar hanya sedikit meriwayatkan hadis karena:
(a) dia selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat Khalifah; (b) kebutuhan akan
hadis tidak sebanyak pada zaman sesudahnya; (c) jarak waktu antara kewafatannya
dengan kewafatan Nabi sangat singkat.
Ø Umar bin al-Khaththab
‘Umar dikenal sangat hati-hati
dalam periwayatan hadis. Hal ini terlihat, misalny, ketika ‘Umar mendengar
hadis yang disampaikan kepada Ubay bin Ka’ab. ‘Umar barulah bersedia menerima
riwayat hadis dai Ubay, setelah para sahabat yang lain, diantaranya Abu Dzarr
menyatakan telah mendengar pula hadis Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh
Ubay tersebut. Akhirnya ‘Umar berkata kepada Ubay: “Demi Allah, sungguh saya
tidak menuduhmu telah berdusta. Saya berlaku demikian, karena saya ingin
berhati-hati dalam periwayatan hadis Nabi.
Kabajikan ‘Umar melarang para
sahabat Nabi memperbanyak periwayatan hadis, sesungguhnya tidaklah berarti
bahwa ‘Umar sama sekali melarang para sahabat meriwayatkan hadis. Laranga ‘Umar
tampaknya tidak tertuju kepada periwayatan itu sendiri, tetapi dimaksudkan: (a)
Agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadis; dan (b) agar
perhatian masyarakat terhadap Quran tidak terganggu.
Sebagian ahli hadits
mengemukakan bahwa Abu Bakar dan ‘Umar menggariskan bahwa hadits dapat diterima
apabila diserta saksi atau setidak-tidaknya periwayat berani bersumpah.
Pendapat ini menurut al-Siba’i, sampai wafatnya ‘Umar juga menerima beberapa
hadits meskipun hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat hadits. Untuk masalah
tertentu sering kali ‘Umar juga menerima periwayatan tanpa saksi dari orang
tertentu, seperti hadits-hadits dari ‘Aisyah. Manurut al-Siba’i, sampai
wafatnya ‘Umar hadits belum banyak yang tersebar dan masih dalam keadaan
terjaga di hati para sahabat. Baru pada masa ‘Utsman ibn ‘Affan, periwayatan hadits
diperlonggar.
Ø Usman bin ‘Affan
Secara umum,kebijakan ‘Usman
tentang periwayatan hadis tidak jauh berbedah dengan apa yang telah ditempuh
oleh kedua Khalifa pendahulunya. Hanya saja, langkah ‘Usman tidaklah setegas
langkah ‘Umar bin al-Khaththab.
Dalam suatu kesempatan khutbah,
‘Usman memintah kepada para sahabat agat tidak banyak meriwayatkan hadis yang
mereka tidak pernah mendengar hadis itu pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar.
Pernyataan ‘Usman ini menunjukkan pengakuan ‘Usman atas hati-hati kedua Khalifah
pendahulunya. Sikap hati-hati itu ingin dilanjutkan pada zaman kekhalifahannya.
Dengan demikian, para sahabat
Nabi sangat kritis dan hati-hati dalam periwayatan hadits. Tradisi kritis
dikalangan sahabat menunjukkan bahwa mereka sangat peduli tentang kebenaran
dalam periwayatan hadits : pertama,para sahabat, sebagaimana
dirintis oleh al-Khulafa’ al-Rasyidun, bersikap cermat dan berhati-hati dalam
menerima suatu riwayat. Ini dikarenakan meriwayatkan hadits Nabi merupakan hal
penting, sebagai wujud kewajiban taat kepadanya. Berhubung tidak setiap
periwayat menerima riwayat langsung dari Nabi, maka dibutuhkan perantara antara
periwayat setelah sahabat, bahkan antara sahabat sendiri dengan Rasulullah SAW.
Karena tidak dimungkinkan pertemuan langsung dengannya. Kedua, para
sahabat melakukan penelitian dengan cermat terhadap periwayat maupun isi
riwayat itu sendiri. Ketiga, para sahabat sebagaimana
dipelopori oleh Abu Bakar, mengharuskan adanya saksi dalam periwayatan hadits. Keempat, para
sahabat, sebagaimana dipelopori ‘Ali bin ‘Abi Thalib, meminta sumpah dari
periwayat hadits. Kelima, para sahabat menerima riwayat dari
satu orang yang terpercaya. Keenam, diantara para sahabat
terjadi penerimaan dan periwayatan hadits tanpa pengecekan terlebih dahulu
apakah benar dari Nabi atau perkataan orang lain dikarenakan mereka memiliki
agama yang kuat sehingga tidak mungkin pendusta.
Sahabat ‘Umar bin al-Khathab
juga pernah ingin mencoba menghimpun hadits tetapi setelah bermusyawarah dan
beristikharah selama satu bulan beliau berkata :
“sesungguhnya aku punya hasrat menulis sunnah, aku telah
menyebutkan suatu kaum sebelum kalian yang menulis beberapa buku kemudian
mereka sibuk dengannya dan meninggalkan kitab Allah SWT. Demi Allah
sesungguhnya aku tidak akan mencampur adukkan kitab Allah dengan sesuatu yang
lain selamanya”.
Kekhawatiran ‘Umar bin
al-Khathab dalam pembukuan hadits adalahtasyabbuh atau menyerupai
dengan ahli kitab yakni Yahudi dan Nasrani yang meninggalkan kitab Allah dan
menggantikannya dengan kalam mereka dan menempatkan biografi para Nabi mereka
di dalam kitab Tuhan mereka. ‘Umar khawatir umat islam meninggalkan Al-Qur’an
dan hanya membaca hadits. Jadi Abu Bakar dan ‘Umar tidak berarti melarang
pengkodifikasian hadits tetapi melihat kondisi pada masanya belum memungkinkan
untuk itu.
Dalam praktiknya, ada dua cara
sahabat meriwayatkan suatu hadits, yaitu :
1. Dengan
lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW. Yang mereka
hafal benar lafazh dari Nabi.
2. Dengan
maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hafal lafazh
asli dari Nabi SAW.
Pada masa ‘Ali r.a., timbul
perpecahan dikalangan umat islam akibat konflik politik antara pendukung ‘Ali
dengan Mu’awiyah. Umat islam terpecah menjadi tiga golongan :
1. Syi’ah,
pendukung setia terhadap ‘Ali, diantara mereka fanatik dan terjadi pengkultusan
terhadap ‘Ali.
2. Khawarij,
golongan pemberontak yang tidak setuju dengan perdamaian (tahkim) dua kelompok
yang bertikai. Kelompok ini semula menjadi pendukung ‘Ali tetapi kemudian
mereka keluar karena tidak menyetuji perdamaian.
3. Jumhur
Muslimin, diantara mereka ada yang mendukung pemerintahan ‘Ali, ada yang
mendukung pemerintahan Mu’awiyah dan ada pula yang netral tidak mau melibatkan
diri dalam kancah konflik.
C. Periwayatan Hadits Pada Masa Tabi’in
Sebagaimana para sahabat, para
tabi’in juga cukup berhati-hati dalam periwayatan hadits. Hanya saja, beban
mereka tidak terlalu berat jika dibandingkan dengan yang dihadapi para sahabat.
Pada masa ini, Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga tidak
lagi mengkhawatirkan mereka. Selain itu, pada masa akhir periode al-Khulafa’
al-Rasyidun (masa khalifah ‘Utsman bin ‘Affan) para sahabat ahli hadits telah
menyebar kebeberapa wilayah kekuasaan islam. Ini merupakan kemudahan bagi para
tabi’in untuk mempelajari hadits-hadits dari mereka. Kondisi ini juga
berimplikasi pada tersebarnya hadits keberbagai wilayah islam. Oleh sebab itu,
masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadits (‘ashr intisyar
al-riwayah), yaitu masa di mana hadits tidak lagi hanya terpusat di Madinah
tetapi sudah diriwayatkan diberbagai daerah dengan para sahabat sebagai
tokoh-tokohnya.
Pada masa ini daerah kekuasaan
islam semakin luas. Banyak sahabat ataupun tabi’in yang pindah dari Madinah ke
daerah-daerah yang baru dikuasai, disamping banyak pula yang masih tinggal di
Madinah dan Mekah. Para sahabat pindah ke daerah baru disertai dengan membawa
perbendaharaan hadits yang ada pada mereka, sehingga hadits-hadits tersebar
diberbagai daerah. Kemudian bermunculan sentra-sentra hadits sebagaimana
dikemukakan Muhammad Abu Zahw, yaitu :
1. Madinah,
dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Aisyah, Abu Hurairah, Ibn ‘Umar, Abu
Sa’id al-Khudri, dll. Tokoh dari kalangan tabi’in : Sa’id ibn Musayyib, ‘Umar
ibn Zubair, Nafi’ Maula ibn ‘Umar, dll.
2. Mekah,
dengan tokoh hadits dari kalangan sahabat : Ibn ‘Abbas, ‘Abdullah ibn Sa’id,
dll. Dari kalangan tabi’in, tokohnya antara lain : Mujahid ibn Jabr, ‘Ikramah
Mawla ibn ‘Abbas, ‘Atha ibn Abi Rabah, dll.
3. Kufah,
dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Abdullah ibn Mas’ud, Sa’id ibn Abi
Waqqas, dan Salman al-Farisi. Tokoh dari kalangan tabi’in : Masruq ibn
al-Ajda’, Syuraikh ibn al-Haris, dll.
4. Syam,
dengan tokoh dari kalangan sahabat : Mu’adz ibn Jabal, Abu al-Darda’, ‘Ubadah
ibn Shamit, dll. Tokoh dari kalangan tabi’in : Abu Idris, Qabishah ibn Zuaib, dan
Makhul ibn Abi Muslim.
5. Mesir,
dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Abdullah ibn Amr al-Ash, ‘Uqbah ibn Amir,
dll. Tokoh dari kalangan tabi’in : Yazid ibn Abi Hubaib, Abu Bashrah
al-Ghifari, dll.
Hadits-hadits yang diterima oleh
para tabi’in ini ada yang dalam bentuk catatan-catatan atau tulisan-tulisan dan
ada pula yang harus dihafal, disamping dalam bentuk-bentuk yang sudah
terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan
mereka ikuti. Kedua bentuk ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu
hadits pun yang tercecer atau terlupakan. Sungguhpun demikian, pada masa
pasca-sahabat ini muncul kekeliruan periwayatan hadits ketika kecermatan dan
sikap hati-hati melemah.
PEMBAGIAN HADIS DARI
SEGI KUALITAS DAN KUANTITAS HADIS
Hadits Ditinjau
Dari Segi Kuantitasnya
Ulama’
berbeda pendapat tentang pembagian hadist ditinjau dari segi kualiatas dan
kuantitasnya ini. Pendapat pertama, yang menjadikan hadis Mansur berdiri
sendiri, tidak terrmasuk bagian dari hadits ahad, diannuat oleh sebagian ulama
ushul, diantaranya adalah Abu Bakar Al Jassa (305-370 H). Sedang ulama golongan
kedua dianut oleh kebanyakan ulama ushu dan ulama kalam. Menurut mereka ,
hadist Mansur bukan merupakan hadis yang berdiri sendiri, akan tetapi hanya bagian
dari hadis ahad.
Mereka
membagi hadis menjadi dua bagian yaitu mutawatir dan ahad.
1. Hadis
mutawatir
Mutawatir
menurut bahasa berarti mutatabi yakni yang datang berikutnya atau
beriring-iringan ynag antara satu dengan yang lain ada jaraknya.[1]
sedangkan
pengertiaan hadis mutawatir menurut istilah terdapat beberapa definisi, antara
lain:
Ø ‘’Hadis
yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih
dahulu untuk berdusta’’.
Ada juga yang
mengatakan:
Ø Hadis
yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka
bersepakat terlebih dahulu berdusta. Sejak awal sanad sampai akhir sanad, pada
setiap tingkat(tabaqat).
Syarat- Syarat Hadis Mutawatir :
a) Diriwayatkan
Oleh Sejumlah Besar Perawi
Hadis mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa
kepada keyakinan bahwa meraka itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta.
Mengenai masalah ini para ulam berbeda pendapat sesuaia dengan firman Allah,
ada yang menyebutkan jumlahnya 5 orang , 10 orang , 12 orang , 20 orang , 40
orang dan ada yang 70 orang, penentuan jumlah-jumlah tertentu sebagaimana
disebutkan diatas, sebetulanya bukan merupakan hal yang yang sangat prinsip
,sebab persoalan pokok yang dijadikan ukuran untuk menetapakan sedikt
atau banyaknya jumlah hadis mutawatir tersebut bukan terbatas pada jumlahnya ,
tetapi diukur pada tercapainya “Ilmu Dharuri. Sekalipun jumlah perawinya tidak
banyak (tetapi melebihi batas minimal yakni 5 orang), asalkan telah memberikan
keyakinan bahwa berita yang mereka sampaikan itu bukan kebohongan, sudah dapat
dimasukkan sebagai hadis mutawawatir.
b) Adanya
Keseimbangan Antar Perawi Pada Thabaqat Pertama Dengan Thabaqat Berikutnya,
maksudanya bila suatu hadis diriwayatkan oleh dua puluh orang sahabat, kemudian
diterima oleh sepuluh tabi’in, dan selanjutnya hanya diterima oleh lima tabi’in
tidak dapat digolongkan sebagai hadis metawatir , sebab rawinya tidak seimbang
antara tabaqat pertama dengan thabaqat-thabaqat berikutnya[2].
c) Berdasarakan
Tanggapan Pancaindra
Berita yang disampaikan
oleh perawinya tersebut harus berdasarkan tanggapan panca indra. Artinya kalau
berita mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau
penglihatannya sendiri, oleh karena itu, abila berita itu merupakan hasila
renungan, pemkiran atau rangkuman dari suatau peristiwa lain ataupun hasil
istimbat dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadis mutawatir, misalnya
berita tentang baharunya alam semesta yang berpijak pada pemikiran bahwa setiap
benda yang rusak itu baharu, maka berita seperti ini tidak dapat dikatakan
hadis mutawatir.[3]
o Pembagian
Hadist Mutawatir
Menurut sebagian ulama hadits mutawatir itu terbagi menjadi dua ,yaitu
mutawatir lafdzi dan mutawatir maknawi. Namun ada juga yang
memabaginya menjadi tiga yakni ditambah dengan hadis mutawatir amali.[4]
a. Mutawatir
Lafdzi
Yang dimaksud dengan
hadis mutawatir lafdzi adalah “hadis yang mutawatir periwatannya dalam satu
lafdzi.
b. Mutawatir Maknawi
Yang dimaksud hadis
mutawatir maknawi adalah hadis yang maknanya mutawatir, tetapi lafalnya tidak.[5]
c. Mutawatir
Amali
Yang dimaksud dengan
mutawatir amali adalah sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk
urusan agama dan telah muatwatir antara umat islam, bahwa Nabi SAW menrjakannya,
menyuruhanya, atau selaian dari itu dan pengertian ini sesuai dengan ta’rif
ijama’.
2. Hadis Ditinjau dari Segi
Kualitasnya
Ditinjau dari segi
kualitasnya ulama’ ahli hadis membagi menjadi dua: yaitu hadist maqbul
dan hadist mardud.
1. Hadis
Maqbul
Maqbul menurut bahasa
berarti ma’khus(yang di ambil) dan mushaddaq( yang di benarkan atau
di terima).sedangkan menurut istilah adalah: Hadits yang telah sempurna
padanya,syarat-syarat penerimaan.
2. Hadits
Mardud
Mardud menurut bahasa berarti
“yang ditolak” atau yang tidak di terima”.
Sedangkan mardud menurut
istilah ialah “ Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat
hadits maqbul”[6]
DALIL YANG MEMPERBOLEHKAN HADIS SEBAGAI SUMBER HUKUM
ISLAM KEDUA
Ada banyak dalil
dalam al-qur’an yang memperbolehkan hadis sebagai sumber hukum diantaranya adalah SURAH AL-FATH AYAT 10, SURAH AL-MAIDAH
AYAT 92, SURAH ANNISA AYAT 65 dan lain-lainnya , yang akan dijabarkan lebih
mendalam pada penjelasan dibawah ini.
Umat Islam telah
bersepakat tentang wajibnya beramal dgn Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam nan shahih, bahkan nan demikian termasuk memenuhi seruan Allah &
Rasul-Nya. Kaum Muslimin menerima As-Sunnah sebagaimana mereka menerima
Al-Qur-an, karena As-Sunnah merupakan sumber tasyri' nan disaksikan Allah.
قُل لَّا
أَقُولُ
لَكُمْ
عِندِي
خَزَائِنُ
اللَّهِ
وَلَا
أَعْلَمُ
الْغَيْبَ
وَلَا
أَقُولُ
لَكُمْ
إِنِّي
مَلَكٌ
ۖ إِنْ
أَتَّبِعُ
إِلَّا
مَا
يُوحَىٰ
إِلَيَّ
ۚ قُلْ
هَلْ
يَسْتَوِي
الْأَعْمَىٰ
وَالْبَصِيرُ
ۚ أَفَلَا
تَتَفَكَّرُونَ
“Katakanlah: ‘Aku tak mengatakan kepadamu bahwa
perbendaharaan Allah padaku, & tak pula aku mengetahui nan ghaib & tak
pula aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang Malaikat. Aku tak mengikuti
kecuali apa nan diwahyukan kepadaku. ' Katakanlah: ‘Apakah sama orang nan buta
dgn orang nan melihat?' Maka apakah kamu tak memikirkannya?” [Al-An'aam: 50]
Kaum muslimin sejak masa Shahabat Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, Tabi'in, Tabiut Tabi'in, & generasi-generasi
nan sesudahnya sampai hari ini mereka selalu mengembalikan setiap persoalan
agama kepada Al-Qur-an & As-Sun-nah, berpegang teguh dengannya &
menjaganya.
Di antara dalil-dalil nan menunjukkan bahwa para
Shabahat & Tabi'in berpegang teguh kepada As-Sunnah adalah:
Pertama: Tatkala Abu Bakar Radhiyallahu anhu
memegang tampuk khilafah, datang Fathimah binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam menemuinya menanyakan bagian warisan dari Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, kemudian Abu Bakar Radhiyallahu anhu berkata kepadanya,
“Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
‘Sesungguhnya apabila Allah memberi makan seorang Nabi kemudian ia diwafatkan,
maka ia menjadikan warisan bagi orang nan sesudahnya. ' Karena itu, aku
memandang bagian itu harus dikembalikan kepada kaum muslimin. ” Fathimah
berkata, “Engkau lebih mengetahui daripada aku tentang apa-apa nan telah engkau
dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. ” (*1)
Dalam riwayat nan lain, Abu Bakar Radhiyallahu anhu
berkata,
لَسْتُ
تَارِكًا
شَيْئًا
كَانَ
رَسُوْلُ
اللهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
يَعْمَلُ
بِهِ
إِلاَّ
عَمِلْتُ
بِهِ،
فَإِنِّي
أَخْشَى
إِنْ
تَرَكْتُ
شَيْئًا
مِنْ
أَمْرِهِ
أَنْ
أَزِيْغَ.
“Aku tak akan meninggalkan sesuatu pun nan diamalkan
oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, aku khawatir bila aku
meninggalkan perintahnya aku akan tersesat. ” (*2)
Kedua: ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu
berdiri di hadapan Hajar Aswad seraya berkata, “Sesungguhnya aku tahu bahwa
engkau adalah batu, seandainya aku tak lihat kekasihku (Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam) menciummu atau menyentuhmu, niscaya aku tak akan menyentuh
& menciummu. “(*3)
Ketiga: ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu
berkata tentang berdirinya orang-orang ketika jenazah lewat: “Aku pernah
melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri, maka kami pun
berdiri, & ketika beliau duduk, kami pun duduk. ” (*4)
Keempat: Ada orang berkata kepada ‘Abdullah bin
‘Umar: “Kami tak mendapati dlm Al-Qur-an tentang cara shalat Safar?” Ibnu ‘Umar
berkata, “Sesungguhnya Allah telah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi
wa sallam kepada kita ini & tadinya kita ini tak mengetahui sesuatu. Karena
itu, kita ini berbuat (beramal) sebagaimana kita ini melihat apa nan Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam amalkan. “
Dalam riwayat nan lain ia berkata: “Tadinya kita ini
sesat, lalu Allah menunjukkan kita ini dgn beliau, karena itu kita ini wajib
mengikuti jejak beliau. ” (*5)
Kelima: Datang seorang wanita kepada ‘Abdullah bin
Mas'ud Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Aku diberi kabar bahwa engkau melarang
wanita menyambung rambut?” ‘Abdullah bin Mas'ud berkata: “Benar. ” Wanita
tersebut berkata: “Apakah larangan itu ada dlm Kitabullah atau engkau dengar
langsung dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam?” ‘Abdullah bin Mas'ud
Radhiyallahu anhu menjawab, “Aku mendapatkan larangan itu dlm Kitabullah &
sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam” Wanita tersebut berkata lagi:
“Demi Allah, aku telah membaca mushhaf Al-Qur-an dari awal hingga akhir tetapi
aku tak mendapatkan larangan itu. ” Ibnu Mas'ud berkata: “Bukankah ada di
dalamnya ayat:
وَمَا
آتَاكُمُ
الرَّسُولُ
فَخُذُوهُ
وَمَا
نَهَاكُمْ
عَنْهُ
فَانتَهُوا
‘. . . Apa-apa nan datang dari Rasul, kamu ambil
& apa-apa nan dilarang kamu tinggalkan…'” [Al-Hasyr: 7]
Wanita itu menjawab: “Ya. ” Selanjutnya Ibnu Mas'ud
berkata: “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
melarang (dalam lafazh lain: melaknat) mencabut bulu dahi, mengikir gigi,
menyambung rambut & mencacah kecuali karena sakit. ” (*6)
Keenam: Abu Nadhrah meriwayatkan dari Shahabat
‘Imran bin Hushain, ada seorang datang kepadanya bertanya tentang sesuatu, lalu
‘Imran bin Hushain menjawabnya dari Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
lalu orang nan bertanya tadi berkata, “Jawablah dari Kitabullah, jangan engkau
sampaikan selainnya. ” ‘Imran berkata: “Engkau adalah orang bodoh (tolol). . .
Apakah engkau mendapatkan dlm Al-Qur-an tentang shalat Zhuhur nan 4 raka'at,
tak dijahrkan bacaannya, bilangan raka'at shalat, ukuran zakat…?” Kemudian ia
berkata lagi, “Apakah engkau mendapatkan semua itu diterangkan dlm Al-Qur-an?
Ketahuilah, Al-Qur-an nan memerintahkan & As-Sunnah nan menafsirkan atau
menjelaskannya. ” (*7)
Sebenarnya masih banyak lagi contoh-contoh tentang
berpegangnya para Shahabat & Tabi'in terhadap Sunnah Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam nan kemudian diikuti oleh orang-orang sesudahnya. Mutharrif
bin ‘Abdillah bin Syikhir (salah seorang dari kalangan Tabi'in) pernah ditanya
oleh seseorang: “Jangan engkau sampaikan kepada kami melainkan dari Al-Qur-an
saja. ” Mutharrif berkata, “Demi Allah, kami tak menghendaki ganti dari
Al-Qur-an, tetapi kami ingin (menyampaikan) penjelasan dari orang nan lebih
mengetahui tentang Al-Qur-an daripada kami, yaitu Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam (*8). Beliau nan menjelaskan Al-Qur-an, me-nerapkan dlm
taklimnya, menerangkan maksud & tujuan firman Allah, serta merinci
hukum-hukumNya dgn Sunnah beliau nan suci. Beliau adalah qudwah bagi kaum
Muslimin (sampai hari Kiamat), oleh karena itu berpeganglah kalian dgn As-Sunnah
ini sebagai-mana kalian berpegang kepada Al-Qur-anul Karim, & jagalah
As-Sunnah ini sebagaimana kalian menjaga Al-Qur-an.
PENGERTIAN HADIS SAHIH LIDZATIHI, SAHIH LIGHAIRIHI,
HASAN, HASAN LIDZATIHI, DAN AHSAN LIGHAIRIHI
Shahih
Lidzatihi :
hadits yang shahih berdasarkan persyaratan shahih yang ada di dalamnya, tanpa
membutuhkan penguat atau faktor eksternal.
Shahih
Lighairihi :
hadits yang hakikatnya adalah hasan, dan karena didukung oleh hadits hasan yang
lain, maka dia menjadi Shahih Lighairihi.
Ash-Shahihain : Dua kitab shahih yaitu: Shahih al-Bukhari dan
Shahih Muslim.
Asy-Syaikhain : Imam al-Bukhari dan Imam Muslim.
Asy-Syaikhain : Imam al-Bukhari dan Imam Muslim.
Hadits
Hasan :
Hadits yang sanadnya bersambung, yang diri-wayatkan oleh rawi yang adil dan
memiliki hafalan yang sedang-sedang saja (khafif adh-Dhabt) dari rawi yang
semisalnya sampai akhir sanadnya, serta tidak syadz dan tidak pula me-miliki
illat.
Hasan
Lidzatihi :
hadits yang hasan berdasarkan persyaratan hasan yang ada di dalamnya, tanpa
membutuhkan penguat atau faktor eksternal.
Hasan
Lighairihi :
hadits yang hakikatnya adalah dla’if, dan karena didukung oleh hadits dla’if
yang lain, maka dia menjadi hasan Lighairihi.
INGKAR SUNNAH PAHAM YANG MENYIMPANG
Belakangan ini santer
terdengar kabar tentang munculnya aliran baru yang menganut paham mengingkari
adanya sunnah atau sering disebut aliran ingkar sunnah.
Kelompok ingkar sunnah
sebenarnya sudah ada sejak lama. Kelompok ini merupakan pecahan dari aliran
Mu’tazilah yang didirikan oleh Washil ibn Atho’. Mu’tazilah termasuk dari
aliran-aliran teologi Islam klasik, yang berkembang pesat pada masa dinasti
Umayah dan Abbasiyah.
Melihat sejarah
kemunculannya, secara umum aliran-aliran teologi Islam klasik dikelompokkan
menjadi tiga. Pertama, aliran yang muncul karena persoalan politik,
yaitu aliran Khawarij, Syiah dan Murji’ah. Kedua, aliran yang
muncul akibat pengaruh ajaran dari luar Islam yakni aliran Jabariyah dan
Qodariyah. Ketiga, aliran yang terbentuk karena mengadopsi
aliran-aliran yang sudah ada, yakni Mu’tazilah.
Pengelompokkan ini hanya
berdasarkan sejarah kemunculannya saja, bukan berdasarkan ajaran masing-masing.
Karena, besar kemungkinan terbentuknya ajaran-ajaran dalam aliran-aliran
tersebut tidak hanya berasal dari satu faktor semata. Besar kemungkinan juga
perpaduan dari beberapa factor. Sebagai contoh, aliran Syi’ah terbentuk oleh
persoalan politik yang melingkupi umat Islam waktu itu, namun dalam banyak hal
aliran ini banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama Yahudi.
Mua’tazilah berasal dari
kata I’tazala yang artinya berpisah atau memisahkan diri. Juga
dapat pula diartikan “menjauh” atau “menjauhkan diri”. Mengikuti makna ini maka
Mu’tazilah merupakan golongan Islam yang menjauhkan atau memisahkan diri dari
mayoritas umat Islam. Mu’tazilah dalam pengertian pertama, mengambil dari
peristiwa Washil bin Atha’ (w. 131 H). pendiri aliran ini yang memisahkan diri
dari gurunya seorang tokoh tabi’in Hasan al-Bashri.
Ada beberapa versi
tentang awal kemunculan aliran ini. Dari semua versi yang ada hanya membedakan
masalah waktu kemunculannya atau tokoh yang mendirikannya saja. Yang
jelas, semua ulama ahlussunah wal jama’ah sepakat
bahwa aliran ini adalah salah satu aliran yang menyimpang dari ajaran Islam,
menyimpang dari jumhur ulama’, atau menjauhkan diri dari pemahaman mayoritas
umat Islam. Nabi saw. bersabda:
“Barang siapa yang
mengharapkan tempat yang lapang di surga maka hendaknya ia menetap
bersama al-Jama’ah.” (HR. at-Tirmidzi).
Nama “Mu’tazilah” hanyalah
satu di antara beberapa nama bagi golongan yang mendewa-dewakan akal. Selain
nama Mu’tazilah, mereka juga dikenal dengan nama ahlu al-adl atau
golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan. Kaum Mu’tazilah juga sering
menyebut diri mereka dengan “ahl al-‘Adl wa al-Tauhid” atau
golongan yang mempertahankan keesaan murni dan keadilan Tuhan. Mayoritas
pengikut Mu’tazilah sendiri sebenarnya menolak disebut dengan nama Mu’tazilah.
Mereka lebih suka disebut dengan Ahlu at-Tauhid wa al ‘Adl.
Mu’tazilah dikenal sebagai
golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi lebih mendalam dan bersifat
filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa aliran-aliran teologi
lainnya. Mereka adalah kelompok yang membangun pemahamannya berdasarkan analisa
akal, sehingga mereka dikenal dengan “kaum rasionalis Islam”. Mu’tazilah
merupakan aliran teologi yang lebih mengutamakan akal daripada wahyu. Tatkala
menemukan kontradiksi antara akal dengan Al-Qur’an dan hadis, mereka lebih
mendahulukan akal. Artinya, mereka menolak penjelasan-penjelasan al-Qur’an dan sunnah
jika bertentangan dengan akal. Jadi, akal merupakan hakim yang memutuskan
segala sesuatu, tidak ada satu pun yang tidak dapat dinalar, termasuk perkara
gaib sekalipun.
Seperti aliran teologi
kebanyakan, aliran Mu’tazilah ini juga mengalami perpecahan. Secara umum
Mu’tazilah, terbagi menjadi dua blok. Blok pertama berada di Bashrah yang
dipimpin oleh Washil ibn Atha’ dan ‘Amr bin Ubaid beserta murid-muridnya.
Kemudian, pada abad ke-3 H, kelompok ini dipimpin oleh Hudzail al-‘Allaf (235
H), Ibrahim as-Sayyar an-Nazham (221 H), Abu Basyar al-Marisi (218 H) dan yang
lainnya.
Sementara kelompok kedua berada
di Baghdad yang dipelopori Basyar bin al-Mu’tamar, Abu Musa al-Mudhar, Ahmad
Abi Daud (W. 240 H). mereka mendapat dukungan besar dari bani Umayah dan Absasiyah.
Banyak khalifah-khalifah yang menganut paham ini. Antara lain, Yazid bin Malik,
Marwan bin Muhammad (Umayah), al-Ma’mun bin Harun ar-Rasyid, al-Mu’tashim bin
Harun ar-Rasyid, al-Watsiq bin al-Mu’tashim.
Dr. Mushtafa as-Siba’I
dalam bukunya as-Sunah wa Makanuta min at-Tasyri’ berkata:
“Kelompok al-Qur’aniah pertama
kali tumbuh dan berkembang di kalangan kelompok Mu’tazilah, karena kelompok
Mu’tazilahlah yang memimpin peperangan terhadap sunnah pada masa-masa awal.”
Pendapat ini sejalan
dengan apa yang dikatakan oleh Syeikh Muhammad al-Khudari Bek dalam
bukunya Tarikh at-Tasyri’ al-Islami:
“Imam Syafi’I sangat keras menentang orang yang
melawan sunnah, khususnya mereka yang berasal dari Basrah. Di basrahlah tempat
tumbuh dan berkembangnya pemimpin Mu’tazilah dan juga kitab-kitab mereka.
Mereka dikenal dengan penentangannya terhadap Ahli Hadits.”
Dr. Mushtafa as-Siba’I
memperkuat apa yang dikatakan Imam asy-Syafi’I seperti terdapat dalam kitab
pengantar kitabMukhtalaf al-Hadis karya Imam ibn Qutaibah mengenai
pendapat para pimpinan Mu’tazilah tentang sunnah:
“Saya berpendapat bahwa semua
itu benar. Saya telah menelaah salah satu manuskrip berjudul Qubul al-Akhbar wa
Ma’rifah ar-Ruah yang ditulis oleh salah seorang penganut Mu’tazilah. Sungguh
saya belum pernah menemukan ungkapan tersebut dalam hidup saya. Penulis buku
ini mencela sahabat habis-habisan. Mereka menuduh para sahabat sebagai pendusta
dan pelaku dosa besar. Manuskrip yang menghina sahabat dan tabi’in dengan
mengatakan bahwa mereka tidak ada yang selamat satupun adalah manuskrip yang
sangat jarang dan bisa dihitung dengan jari. Berdasarkan itu semua, saya berani
mengatakan bahwa peperangan melawan sunnah pada awalnya dikobarkan oleh kaum
Mu’tazilah.”
Peperangan melawan sunnah ini
terus berlangsung sampai saat ini. Peperangan ini dikobarkan lagi oleh beberapa
tokoh, seperti Syeikh Rasyid Ridha, Prof. Ahmad Amin, dan beberapa orientalis
seperti Goldziher dan beberapa pemikir lain yang menisbahkan dirinya kepada
Islam.
Seperti yang di jelaskan
as-Siba’I di atas, para pengikut kelompok yang mengingkari sunnah menyebut diri
mereka dengan kelompok al-Qur’aniyun, yang menganggap hanya al-Qur’an yang
dapat menjadi pegangan atau hujjah, sedangkan sunnah tidak. Alasan
mereka, karena al-Qur’an diturunkan untuk menjelaskan segala sesuatu dan tidak
memerlukan sunnah.
Lanjut mereka, jika ada
ketentuan hadits tentang hukum baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’an, maka
itu tetap termasuk zhanni ats-tsubut dan tidak bisa disamakan
dengan al-Qur’an. Di sini, sunnah yang zhanni ats-tsubutberhadapan
dengan al-Qur’an yang qath’I ats-tsubut. Lalu zhanni
ats-tsubut tidak bias mengalahkan qath’I ats-tsubut. Lalu
jika sunnah ditempatkan sebagai penguat apa yang terdapat pada al-Qur’an, maka
status sunnah adalah sebagai penjelas terhadap qath’I ats-tsubut.
Siapa yang mengingkari qath’I ats-tsubut meskipun satu huruf
ia dianggap kafir. Ketentuan ini tidak berlaku pada orang yang mengingkari
sesuatu yang zhanni ats-tsubut.
Kelompok ini mengingkari
kekuatan hujjah hadits mutawatir. Karena hadits mutawatir tetap
berstatus zhanni ats-tsubut.
Namun terkadang
kelompok ini menggunakan beberapa kejadian yang terkait dengan sunnah
untuk menguatkan pendapat mereka. Mereka mengambil salah satu sanad lemah untuk
memperkuat pendapatnya. Misalnya mereka berkata: “Umar bin al-Khattab
melarang para sahabat untuk meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw. seandainya
sunnah merupakan sumber yang utama, tidak mungkin ia melarang para sahabat
untuk meriwayatkannya.”
Dalam hal ini, Umar ra. diikuti
oleh sahabat Ali bin Abi Thalib krw. Ia juga menyumpah orang yang meriwayatkan
hadits dari Rasulullah saw. maksudnya, ini dilakukan untuk mengajarkan kepada
mereka untuk berhati-hati, dan agar menghindari kebohongan terhadap atau atas
nama Rasulullah saw.
Tindakan Umar ra. Dan Ali bin
Abi Thalib krw. Diatas didasarkan pada hadits Nabi saw. berikut ini:
“Janganlah kalian
menulis sesuatu dariku. Barang siapa yang telah menulisnya, maka hendaklah ia
buang. Ceritakanlah saja apa-apa dariku. Tidak ada dosa di dalamnya.” (HR.
Muslim).
Secara historis, pada periode-periode awal, memang ada
kecenderungan minimalisasi periwayatan al-sunnah, khususnya sunnah qauliyyah. Selain
memberikan penekanan pada eksistensi al-Qur’an sebagai sumber pegangan utama,
faktor lain yang mendasarinya adalah kekhawatiran tersebarnya pendustaan
terhadap ucapan beliau, Rasulullah saw., hal mana juga menjadi perhatian
tersendiri dari beliau, hingga terlontar peringatan keras dari para pembuat
kedustaan terhadap Rasul.
Namun demikian, larangan
tersebut tidak dapat dipahami secara mutlak, karena bisa jadi larangan ini
hanya beliau tujukan pada para penulis wahyu. Karena bila mereka turut menulis
ucapan-ucapan beliau, bisa jadi akan terjadi pencampuradukan antara wahyu
berupa al-Qur’an dan sunnah nabawiyah.
Ada beberapa argumen
pembenar atas asumsi di atas. Di antaranya adalah hadits yang teriwayatkan
dalam Musnad Ahmad, dari Abdullah bin Umar. Diceritakan bahwa ia
pernah menulis setiap yang ia dengar dari Rasulullah saw. unutk dihafalkan.
Kemudian orang Quraisy mencegahnya. Tatkala hal ini diadukan pada Rasulullah
saw., beliau bersabda:
“Tulislah (apa yang
engkau dengar dariku), demi Dzat yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya,
tidaklah keluar dariku kecuali kebenaran.” (HR. Ahmad).
Dari hadits ini dapat
disimpulkan bahwa membukukan al-sunnah dan menggunakannya tidak dilarang oleh
Rasulullah saw.
Mereka yang menentang, khususnya
yang menentang para sahabat, dan umumnya para rawi hadits, yang dipimpin oleh
Mu’tazilah dulu maupun sekarang, dan diikuti oleh mereka yang mengikuti hawa
nafsu, adalah termasuk orang-orang yang menghina Abu Hurairah ra. dan
menuduhnya mengada-ada dan menulis sendiri apa yang kemudian ia riwayatkan
sebagai hadits. Padahal Allah telah membebaskan para sahabat Rasulullah saw.
dari aib yang keji. Allah juga memelihara mereka agar tidak terjatuh pada
perbuatan buruk dan menjadikannya sebagai ‘bintang’ yang dapat menjadi panduan
arah. Allah swt. berfirman:
“Sesungguhnya orang yang paling
dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini
(Muhammad), beserta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah
adalah pelindung semua orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran: 68).
Allah swt. juga berfirman:
“Pada hari ketika Allah tidak
menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia.” (QS. At-Tahrim: 8).
Orang-orang yang menyaksikan
turunnya al-Qur’an dan hidup bersama Rasulullah saw. tidak memiliki cela.
Mencela salah seorang dari mereka berarti bertentangan dengan iman dan
menghilangkan salah satu dari mereka adalah bentuk kemunafikan. Karena periode
mereka adalah masa yang paling baik setelah Rasulullah saw., mereka tidak
pernah berbicara menggunakan hawa nafsu.
Rasulullah saw. tidak mungkin
memerintahkan sahabatnya untuk menyampaikan risalah dan menyuruh mereka yang
hadir untuk memberitahukan mereka yang tidak hadir jika mereka semuanya bukan
orang yang jujur. Seandainya mereka bukan orang jujur, niscaya itu akan merusak
kejernihan risalah yang sampai pada hari ini.
Mengenai sahabat Umar ibn Khattab
ra. Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Sesungguhnya Allah
swt. menganugerahkan kebenaran pada ucapan dan hati Umar.”
Nabi saw. juga bersabda:
“Jika umat ini menjadi
pembicara, maka Umar ra. termasuk di dalamnya.”
Imam Syafi’I pada
catatan kaki kitabnya Jamma’ al-‘Ilm dengan tegas menolak
pemikiran ingkar sunnah seperti di atas, seperti dikutip oleh
as-Siba’I, sebagai berikut:
1. Allah
swt. mewajibkan kita mengikuti Rasul-Nya. Perintah ini berlaku umum bagi siapa
saja yang ada pada masa itu dan siapa saja yang hidup setelahnya. Oleh karena
itu, tidak ada alasan bagi mereka yang tidak pernah hidup bersama Rasulullah
saw. selain mengikuti sunnahnya. Dengan begitu kita wajib mengikuti dan
menerima sunnahnya. Alasannya jika ada sesuatu yang menjadi syarat sempurnanya
suatu kewajiban dan tidak termasuk dalam rangkaian kewajiban tersebut, maka
hukumnya menjadi wajib.
2. Menerima
sunnah bertujuan memahami hukum-hukum al-Qur’an. Masalah nasikh-mansukh tidak
akan diketahui tanpa merujuk kepada sunnah.
3. Ada
ketentuan hukum yang memeberikan ketentuan khusus terhadap dalil-dalil qath’I dengan
menggunakan dalil-dali zhanni. Seperti pada persaksian dengan
dua orang saksi dalam kasus pembunuhan dan kasus harta, padahal ketentuan
tentang menjaga harta dan darah telah ditetapkan dengan dua saksi. Ketentuan
mengenai dua saksi ini adalah benar-benar zhanni.
4. Meskipun
dalam sunnah dimungkinkan ada unsur-unsur kesalahan, kebohongan, dan keraguan,
namun kemungkinan ini tersebut terjadi sebelum dilakukan penguatan dari
rawi-rawi yang adil, membandingkan riwayat rekannya. Dengan begitu, kemungkinan
terjadinya perbedaan riwayat dengan al-Qur’an dan sunnah sangat kecil bahkan
nihil.
TAKHRIJ HADIS
A.
Konsep
Takhrijul Hadis
Takhrij menurut arti bahasa adalah:
اِجْتِمَاعُ اَمْرَيْنِ
مُتَضَادَيْنِ فِى شَىْءٍ وَاحِدٍ
Artinya: “kumpulan
dua perkara yang saling berlawanan dalam satu masalah”
Kata takhrij adalah
bentuk imbuhan dari kata khuruj. Kata yang terakhir ini adalah
bentuk derivatif dari kata kerja kharaja yang berarti keluar
(kharaja min makanih). Dari kata kharaja dapat dibentuk
kata akhraja, kharraja dan istakhraja. Kata akhrajaberarti
mengeluarkan (abraza), kata kharraja mempunyai makna
mendidik, melatih member warna dengan dua warna atau lebih dan lain-lain, dan
juga kata istakhrajadiartikan mengeluarkan. Takhrij menurut
istilah adalah,
اَلتَّخْرِيْجُ هُوَاَالدِّلاَ لَةُعَلَى
مَوْضِعِ الْحَدِيْثِ فِى مَصَادِرِهِ الأَصْلِيَّةِالَّتِيْ أَخْرَجَتْهُ
سَنَدُهُ بِبَيَانِ مَرَتَبَتِهِ عِنْدَالْحَاجَةِ
Takhrij adalah penunjukan terhadap tempat hadis di dalam sumber
aslinya yang dijelaskan sanad dan martabatnya sesuai dengan keperluan.
Para muhaddisin mengartikan takhrij hadis
sebagai berikut:
1. Mengemukakan hadis pada orang banyak dengan
menyebutkan para perawinya dalam sanad yang telah menyampaikan hadis itu dengan
metode periwayatan yang mereka tempuh
2. Ulama mengemukakan berbagai hadis yang telah
dikemukakan oleh para guru hadis, atau kitab lain yang susunannya dikemukakan
berdasarkan riwayat sendiri, atau para gurunya, siapa periwayatnya dari para
penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
3. ‘mengeluarkan’, yaitu mengeluarkan hadis dari
dalam skitab dan meriwayatkannya. Al-Sakhawy mengatakan dalam kitab Fathul
Mughits sebagai berikut, “Takhrij adalah seorang muhadis
mengeluarkan hadis-hadis dari dalam ajza’, al-masikhat, atau
kitab-kitab lainnya. Kemudian, hadis tersebut disusun gurunya atau
teman-temannya dan sebagainya, dan dibicarakan kemudian disandarkan kepada
pengarang atau penyusun kitab itu. ”
4. Dalalah, yaitu menunjukkan pada sumber hadis asli dan
menyandarkan hadis tersebut pada kitab sumber asli dengan menyebutkan perawi
penyusunnya.
5. Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis
pada sumbernya yang asli, yakni kitab yang didalamnya dikemukakan secara
lengkap dengan sanadnya masing-masing, lalu untuk kepentingan penelitian, dijelaskan
kualitas sanad hadis tersebut.
Dari sekian banyak
pengertian takhrij di atas, yang dimaksud takhrij dalam hubungannya dengan
kegiatan penelitian hadits lebih lanjut, maka takhrij berarti “penelusuran atau
pencarian hadits pada berbagai kitab-kitab koleksi hadits sebagai sumber asli
dari hadits yang bersangkutan, yang di dalam sumber tersebut dikemukakan secara
lengkap matan dan mata rantai sanad yang bersangkutan.
B. Urgensi Takhrijul Hadis
Ilmu takhrij merupakan
bagian dari ilmu agama yang harus mendapat perhatian serius karena didalamnya
dibicarakan berbagai kaidah untuk mengetahui sumber hadis itu berasal.
Disamping itu, didalamnya banya ditemukan kegunaan dan hasil yang diperoleh,
khusunya dalam menentukan kualitas sanad hadis.
Urgensi takhrijul
hadis adalah untuk mengetahui sumber asal hadis yang di takhrij.Tujuan
lainnya adalah mengetahui di tolak atau diterimanya hadis-hadis tersebut.
Dengan cara ini, kita akan mengetahui hadis-hadis yang pengutipannya
memerhatikan kaidah-kaidah ulumul hadis yang berlaku sehingga hadis tersebut
menjadi jelas, baik asal-usul maupun kualitasnya.
Adapun urgensi takhrij
hadis ini antara lain:
1. Dapat diketahui banyak sedikitnya jalur
periwayatan suatu hadis yang menjadi topik kajian.
2. Dapat diketahui kuat tidaknya periwayatan akan
menambah kekuatan riwayat. Sebaliknya, tanpa dukungan periwayatan lain,
kekuatan riwayat tidak bertambah.
3. Dapat ditemukan status hadis Shahih li dzatih atau shahih li ghairih, hasan li dzatih,
atau hasan li ghairih. Demikian akan dapat diketahui istilah
hadis mutawatir, masyhur, aziz, dangharib-nya.
4. Memberikan kemudahan bagi orang yang hendak
mengamalkan setelah mengetahui bahwa hadis tersebut adalah makbul (dapat
diterima). Sebaliknya, orang tidak akan mengamalkannya apabila mengetahui hadis
tersebut mardud (ditolak).
5. Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadis adalah
benar-benar berasal dari Rasulullah SAW yang harus diikuti karena ada
bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran hadis tersebut, baik dari segi sanad
maupun matan.
C. Metode-Metode Takhrijul Hadis Cara
Konvensional
Secara garis besar ada
dua cara dalam melakukan takhrij al-hadis, yaitu pertama, takhrij
al-hadis dengan cara konvensional. Maksudnya adalah melakukan takhrij
al-hadisdengan menggunakan kitab-kitab hadis. Kedua, takhrij
al-hadis dengan menggunakan perangkat komputer melalui bantuan
CD-ROM dengan program aplikasi takhrij hadis. Dalam makalah ini penulis
akan mencoba menjelaskan cara melakukan takhrij al-hadis beserta contoh-contohnya
dengan cara konvensional.
Setidaknya ada lima
metode yang dapat dipergunakan dalam kegiatan takhrij al-hadissecara
konvensional. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya tersendiri,
meski tujuan akhir takhrij dengan metode-metode itu tetap
sama, yaitu menentukan letak suatu hadis dan menentukan kualitas hadis
tersebut. Kelima metode itu adalah:
1. Melalui pengetahuan tentang nama sahabat yang
meriwayatkan.
Metode takhrij
al-Hadis melalui pengetahuan tentang nama sahabat perawi hadis. Diantara
kitab-kitab hadis sumber, banyak yang ditulis dengan mengikuti system
pengelompokan hadis atas dasar nama sahabat yang meriwayatkannya. Mentakhrij hadis
dengan kitab-kitab semacam ini mutlak diperlukan pengetahuan tentang nama
sahabat perawi hadis itu. Ada tiga macam referensi yang dapat digunakan
dalam menggunakan metode ini, yaitu:
a. Kitab-kitab al-musnad
Kitab musnad adalah
kitab yang disusun pengarangnya berdasar nama-nama sahabat atau kitab yang
menghimpun hadis-hadis sahabat. Kitab musnad
merupakan kitab-kitab hadis yang disusun berdasar urutan nama-nama rawi pertama
dengan mengumpulkan hadis-hadis yang diriwayatkan satu kelompok. Kitab hadis
yang menganut sitematika penyusunan diantaranya yang mendasarkan pada urutan
al-fabetis, tetapi ada pula yang mendasarkan pada keutamaan, senioritas,
kabilah, atau wilayah. Diantara kitab-kitab musnad adalah:
1) Musnad Abi Bakr Abd Allah Ibn al-Zubair
al-Humaidy (w. 219 H).
2) Musnad Ahmad ibn HAnbal (w. 241 H)
3) Musnad Abi Ishaq Ibrahim Ibn Nashr.
4) Musnad Abi Dawud Sulaiman ibn Dawud
at-Thayalisiy (w. 204 H).
5) Musnad Asad ibn Musa al-Umawy.
6) Musnad Abi Khaitsamah Zubair ibn Harb, dsb.
b. Kitab-kitab al-mu’jam
Kitab mujam adalah
kitab hadis yang disusun berdasarkan nama-nama (musnad) sahabat,
guru-gurunya, negaranya atau yang lainnya berdasarkan urutan alfabetis.
Diantara kitab mujam yang disusun berdasarkan nama sahabat
ialah:
1) Al-Mujam al-Kabir karya Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad al-Tabarani
(w. 360 H).
2) Al-Mujam al-Ausat karya Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad
al-Tabarani (w. 360 H).
3) Al-Mujam al-Sagir karya Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad
al-Tabarani (w. 360 H).
4) Mujam al-Sahabah karya Ahmad ibn Ali ibn Lafie al-Hamdani (w.
398 H).
5) Mujam al-Sahabah karya Abu Yala Ahmad ibn Ali al-Mausili (w.
308 H).
c. Kitab-kitab al-athraf/ Atraf
Kata Atraf adalah
bentuk jamak dari kata: Tarf. Kata Tarful hadis berarti
bagian dari matan hadis yang dapat menunjukkan keseluruhannya.
1) Athraf as-Shahihain karangan Abu Mas’ud Ibrahim ibn
Muhammad al-Dimasyqiy (w. 401 H).
2) Al-Asyraf ‘ala Ma’rifati al-Asyraf karangan al-h’afidh Abu Qasim
‘All ibn Hasan yang dikenal dengan Ibn ‘Asakir
al-Dimasyqy (w. 671 H).
3) Tuhfat al-Asyraf bi Ma’rifati al-Asyraf atau Athraf al-Kittub as Sittahkarangan Abu
al-Hajjaj Yususf Abd al-Rahman al-Mizsy (w. 742 H).
Kelebihan-kelebihan
metode ini:
1) Dapat diketahui dengan cepat semua hadis yang
diriwayatkan oleh sahabat tertentu dengan sanad dan matannya secara lengkap.
2) Diketemukan banyak jalan untuk matan yang
sama.
3) Memudahkan untuk menghapal dan mengingat hadis
tertentu yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu
Kekurangan-kekurangan
metode ini:
1) Untuk menemukan hadis tertentu yang
diriwayatkan oleh sahabat tertentu membutuhkan waktu yang relatif lama, sebab
pada umumnya sahabat tidak hanya meriwayatkan satu dua hadis saja.
2) Metode ini tidak bisa digunakan jika nama
sahabat yang meriwayatkannya tidak diketahui.
2. Mengetahui tentang lafal pertama hadis.
Metode takhrij melalui
pengetahuan tentang lafal pertama hadis. Teknik ini dipakai apabila permulaan
lafal hadis dapat diketahui dengan cepat. Tanpa mengetahui lafal pertama hadis
yang dimaksud teknik ini sama sekali tidak dapat digunakan.
Jenis-jenis kitab yang dapat digunakan dengan metode ini dapat diklasifikasikan
menjadi:
a. Kitab-kitab hadis yang popular di masyarakat,
seperti kitab at-Tazkirah fi al-Ahaditz al-Musytahirah karangan
Badruddin Muhammad ibn Abd Allah as-Zarkasyi. Kitab jenis ini tentu
saja terbatas hadis-hadisnya karena dikhususkan pada hadis-hadis yang populer
dimasyarakat.
b. Kitab-kitab hadis yang hadis-hadisnya disusun
secara alfabetis. Kitab jenis ini yang paling banyak beredar adalah karangan
Suyuthy (w. 911 H), yang berjudul al-Jami’ash-Shagir min Ahadis
al-Basyir an-Nazir.
c. Kunci-kunci dan indeks yang dibuat untuk
kitab-kitab tertentu. Beberapa ulama telah membuat kunci-kunci daftar atau
indeks bagi kitab-kitab hadis tertentu dengan tujuan mempermudah mencari hadis
tertentu dalam kitab tersebut.
a. Untuk Shahih al-Bakhari, yaitu Hady al-Bari
ila Tartib Ahadis al-Bukhari.
b. Untuk Sahih Muslim, yaitu mujam al-Alfaz wa la
Siyyama al-Garib minha.
c. Untuk al-Muwatta’, yaitu Miftah al-Muwatta.
d. Untuk Sunan Ibn Majah, yaitu Miftah Sunan Ibn
Majah, dsb.
Kelebihan dan
kekurangan metode ini adalah dengan metode ini kemungkinan besar kita dengan
cepat menemukan hadis-hadis yang dimaksud, sebab dengan mengetahui satu lafal
saja kita dapat menelusuri hadis pada sumber aslinya, tetapi jika terjadi
perbedaan lafal pertama meski hanya sedikit saja, akan berakibat sulit
menemukan hadis.
3. Mengetahui tentang salah satu lafal hadis
(dalam tulisan ini akan dibahas lebih rinci).
Dengan mengetahui
sebagian lafal hadis, baik di awal, tengah maupun akhir matannya, kitab-kitab
yang diperlukan atau referensi yang paling representative untuk metode ini
yaitu kitab karya Arnold John Wensinck dengan judul al-Mu jam
al-Mufahras li Alfaz al-Hadis al-Nawawi, dengan penerjemah Muhammad
Fuad Abd al-Baqi. Kitab ini merupakan kitab kamus dari 9 kitab hadis,
yakni sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan
al-Tirmizi, Sunan al-Nasai,Sunan Ibn Majah, Sunan al-Darimi, al-Muwatta Imam
Malik, danMusnad Ahmad ibn Hambal.
Untuk Musnad
Ahmad (حم) hanya disebutkan juz serta halamannya; Sahih
Muslim (م) danal-Muwatta (ط) nama bab dan nomor urut hadis,
sedangkan Sahih al-Bukhari (خ), Sunan Abi Dawud (د), Sunan
al-Tirmizi (ت), Sunan al-Nasai (ن) serta Sunan Ibn Majah (جه), Sunan
al-Darimi (دى) disebutkan nama bab serta nomor urut babnya.
Kelebihan metode ini:
a. Memungkinkan pencarian hadis melalui kata apa
saja yang terdapat dalam matan hadis.
b. Mempercepat pencarian hadis, karena
kitab takhrij ini menunjuk kepada kitab-kitab induk dengan
menunjukkan kitab, nomor bab, atau nomor hadis, nomor juz, dan bahkan nomor
halaman.
Kekurangan metode ini:
a. Adanya keharusan memiliki kemampuan bahasa
arab dan perangkat ilmu yang memadai, sebab metode ini menuntut untuk
mengembalikan setiap kata kuncinya kepada kata dasarnya.
b. Hanya merujuk kepada Sembilan kitab tertentu,
sehingga bila lafaz hadis yang diketahui tidak diambil dari kitab-kitab
tersebut maka hadis tersebut tidak ditemukan.
c. Metode ini tidak menyebutkan perawi dari
kalangan sahabat. Untuk mengetahui perawi yang menerima hadis dari Nabi kita
harus kembali kepada kitab aslinya.
4. Mengetahui tentang tema hadis.
Takhrij melalui pengetahuan tentang tema hadis. Teknik
ini akan mudah digunakan oleh orang sudah bisaa dan ahli dalam hadis karena
yang dituntut dalam teknik ini adalah kemampuan menentukan tema atau
salah satu tema dari suatu hadis. Dalam mentakhrij dengan metode
ini diperlukan kitab-kitab hadis yang tersusun berdasar pada bab-bab dan
topik-topik. Kitab ini banyak sekali dan dapat dibagi tiga kelompok:
a. Kitab-kitab yang berisi seluruh tema agama,
yaitu kitab-kitab al-Jawawi’ berikut dengan mustakhraj dan mustadraknya,
al-majani’,al-zawaid, dan secara khusus kitab Miftah Kunuz
as-Sunah.
b. Kitab-kitab yang berisi sebagian banyak
tema-tema agama, yaitu kitab-kitab sunan, mushannaf, muwathta’, dan mustakhraj atas
sunan.
c. Kitab-kitab yang berisi satu aspek saja dari
tema agama, yaitu kitab-kitab yang khusus tentang hukum saja, tentang mengangkat tangan saja, dan lain-lain. Kitab-kitab
ini bisaanya merupakan kitab-kitab juzu’, targhib dan tarhib,
ahkam, zuhud, fadha’il, adab, dan akhlaq dan
tema-tema khusus lainnya.
Kelebihan metode ini:
a. Dapat ditemukan banyak hadis dalam satu tema
tertentu terkumpul pada satu tempat.
b. Metode ini mendidik ketajaman pemahaman hadis
kepada peneliti. Dengan menggunakan metode ini beberapa kali seorang peneliti
akan memiliki tambahan pengetahuan tentang fiqh al-hadis.
c. Metode ini tidak memerlukan pengetahuan di
luar hadis, seperti keabsahan lafal pertama, pengetahuan bahasa arab dan
perubahan-perubahannya, dan pengenal perawi pertama.
Kekurangan-kekurangannya:
a. Terkadang hadis sulit disimpulkan oleh
peneliti sehingga tidak dapat menentukan temannya. Akibatnya ia tidak mungkin
memfungsikan metode ini.
b. Terkadang pemahaman peneliti tidak sama dengan
pemahaman penyusun kitab. Akibatnya ialah penyusun kitab meletakan hadis pada
posisi yang tidak diduga oleh peneliti tersebut.
5. Melalui pengetahuan tentang sifat khusus
(karakteristik) sanad atau matan hadis.
Metode kelima dalam
menelusuri hadis ialah dengan mengamati secara mendalam sanad dan matan hadis, yaitu
dengan melihat petunjuk dari sanad, matan atau sanad dan matn-nya secara
bersamaan. Petunjuk dari matn, misalnya ada kerusakan makna hadis, menyelisihi
al-Qur’an ataupun petunjuk bahwa hadis itu palus ataupun yang lainnya. Adapun
kitab-kitab yang bisa menjadi rujukan adalah:
a. Al-Maudu at al-Sugra, karya Ali al-Qari (w. 1014 H).
b. Tanzih al-Syariah al-Marfuah an al-Ahadis
al-Syaniah al-Mauduah, karya al-Kinani (w.963 H)
Petunjuk yang lain
dari matn yaitu bila diketahui matn hadis tersebut merupakan hadis qudsi. Kitab
yang bisa dijadikan rujukan dalam hal ini adalah:
a. Misykah al-Anwar, karya Muhy al-Din Muhammad ibn Ali ibn Arabi
al-Khatimi (w. 638 H).
b. Al-Ittihafat al-Saniyyah bi al-Ahadis
al-Qudsiyyah, karya Abd al-Rauf al-Munawi
(w. 1031 H).
Petunjuk dari sanad,
misalnya sanad yang rawinya meriwayatkan hadis dari anaknya. Kitab yang menjadi
rujukan misalnya Riwayah al-Aba ‘an al-Aba karya Abu Bakr
Ahmad ibn Ali al-Bagdadi. Keadaan sanad hadis yang musalsal dengan
kitab rujukan al-Musalsalah al-Kubrakarya al-Suyuti, ataupun
keadaan sanadnya yang mursal dengan kitab rujukan al-Marasilkarya
Abu Dawud al-Sijistani dan karya al-Razi.
Petunjuk dari sanad
dan matan secara bersamaan. Kitab yang bisa dijadikan rujukan adalah:
a. Ilal al-Hadis karya Ibn Abi Hatim al-Razi.
b. Al-Asma al-Mubhamah fi al-Anba
al-Muhkamah, karya al-Khatib
al-Baghdadi.
c. Al-Mustafad min Mubhamat al-Matn wa
al-Isnad, karya Abu Zurah Ahmad
ibn Abd al-Rahim al-Iraqi.
Kelebihan dari metode ini
adalah pada umumnya kitab-kitab hadis yang dapat dijadikan rujukan dengan
metode ini memuat penjelasan-penjelasan tambahan dari penyusunnya. Adapun bahwa
kekurangan dari metode ini memerlukan pengetahuan yang mendalam tentang keadaan
sanad dan matan hadis yang di takhrij, disamping itu
kitab-kitab rujukan metode ini pada umumnya memuat hadis yang jumlahnya sangat
terbatas.
D. Contoh Takhrijul Hadis
Contoh I: hadis tentang “syafaat nabi saw bagi
orang yang berdosa besar”, bunyi teks hadisnya adalah:
قاَلَ رَسُوْ لُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَفَاعَتِي لِأَهْلِ الْكَبَائِرِمِنْ
أُمَّتِي
“Rasulullah bersabda: syafaatku bagi
orang-orang yang berdosa besar dari umatku”.
Setelah dilakukan
kegiatan takhrij al-hadi, hadis di atas bersumber dari:
1. Al-Tirmizi, kitab Sifah al-Qiyamah wa
al-Raqaiq wa al-Wara an Rasulillah, no hadis. 2360 dan 2359:
حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ
الْعَنْبَرِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ
أَنَسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَفَاعَتِي لِأَهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ أُمَّتِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
صَحِيحٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَفِي الْبَاب عَنْ جَابِ
Telah menceritakan kepada kami Al-Abbas
Al-Ambari telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq dari Ma’mar dari Tsabit
dari Anas berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Syafaatku untuk pemilik dosa-dosa
besar dari ummatku”. Berkata Abu Isa, hadis ini hasan shahih gharib melalui
sanad ini dan dalam hal ini ada hadis serupa dari Jabir.
(HR. Al-Tarmizi: No. 2360).
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ
ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
شَفَاعَتِي لِأَهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ أُمَّتِي
قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ
عَلِيٍّ فَقَالَ لِي جَابِرٌ يَا مُحَمَّدُ مَنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ أَهْلِ
الْكَبَائِرِ فَمَا لَهُ وَلِلشَّفَاعَةِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ
غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ يُسْتَغْرَبُ مِنْ حَدِيثِ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Basyar telah menceritakan kepada kami Abu Daud Ath Thayalisi dari Muhammad bin
Tsabit Al-Bunani dari Ja’far bin Muhammad dari Bapaknya dari Jabir bin Abdullah
berkata: Rasulullah SAW bersabda: “syafaatku untuk ummat ku yang berbuat
dosa-dosa besar”. Muhammad bin Ali berkata: kemudian Jabir berkata kepadaku:
wahai Muhammad yang tidak melakukan dosa besar tidak lagi membutuhkan syafaat
Abu Isa Berkata, hadis ini hasan gahrib dari jalur sanad ini dan dianggap
gharib dari hadis Ja’far bin Muhammad. (HR. Al-Tarmizi: No. 2359).
2. Ibn Majah, kitab al-Zuhd, no.
hadis 3112
حدثنا عبد الرحمن بن
إبراهيم الدمشقي . ثنا الوليد بن مسلم . ثنا زهير بن محمد عن جعفر بن محمد عن أبيه
عن جابر قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ( إن شفاعتييوءم القيامة لأهل
الكبائر من أمتي ) . قال الشيخ الألباني : صح
Abdul Rahman bin Ibrahim Damaskus. Sunan Walid bin Muslim. Tna Zuhairbin Mohammed Jaafar bin Muhammad dari
ayahnya dari Jabir berkata:mendengar Rasulullah dan saw mengatakan: sesungguhnya syafa’atku pada hari kiamat
adalah untuk para pelaku dosa besar dari ummat ku. Syaikh al-Albanimengatakan: Hadis ini Shahih
3. Abu Dawud, kitab al-Sunnah, no.
hadis 4739.
حدثنا سليمان بن حرب
ثنا بسطام بن حريث عن أشعث الحداني عن أنس بن مالك : عن النبي صلى الله عليه و سلم
قال " شفاعتي لأهل الكبائر من أمتي " .قال الشيخ الألباني : صحيح
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin
Harb berkata, telah menceritakan kepada kami Bastham bin Huraits dari Asy’ats
Al Huddani dari Anas bin Malik dari Nabi SAW, beliau bersabda: “syafaatku
berlaku” untuk pelaku dosa besar dari ummat ku. Berkata Syaikh Al-Bani, hadis
ini shahih.
4. Ahmad ibn hanbal, bab Baqi Musnad
al-Muksiri, no. hadis 13245.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا سليمان بن حرب ثنا
بسطام بن حريث عن أشعث الحراني عن أنس بن مالك
قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : شفاعتي لأهل الكبائر من أمتي تعليق شعيب
الأرنؤوط : إسناده صحيحTelah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb, telah
menceritakan kepada kami Bistham bin Huraits, dari Asy'asy Al-Harrani, dari
Anas bin Malik berkata, Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda,
"Syafaatku adalah untuk pelaku dosa besar dari umatku". Syaikh
Arna’oot mengatakan hadis ini sanadnya Shahih.
Contoh II: Hadis tentang menuntut ilmu.
عن أنس بن مالك قال: قال رسول الله ص س. طلب
العلم فريضة على كل مسلم وواضع العلم عند غير أهله كمقلد الخنازير الجوهر واللؤلؤ
والذهب (رواه ابن ماجه)
Setelah dilakukan
kegiatan takhrij al-hadi, hadis di atas bersumber dari:
1. Kitab Ibnu Majah, Juz 1, halaman. 260
2. Kitab At-Thobari, Juz 1 halaman 12, Juz 5
halaman 41, Juz 64 halaman 5, Juz 13 halaman 6.
3. Kitab Abu Hanifah, Juz 3, halaman. 454
4. Shahih Tarhib wa Tarhib, Juz. 1, halaman. 13.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking