Free Flower Color Change1 Cursors at www.totallyfreecursors.com
mutmainnah syam: ILMU HADIS

daun

Donderdag 27 Junie 2013

ILMU HADIS


PERBEDAAN SUNNAH DAN HADIS
Sunnah dan hadis itu pada hakikatnya sama, sunnah adalah segala perbuatan,kebiasaan, perkataan nabi sejak ia lahir sampai meninggal dunia, sunnah tidak tertulis dan ada saat rasulullah masih hidup sehingga tidak ada sunnah yang palsu, sedangkan hadis adalah perkataan, perbuatan, dan kebiasaan rasulullah, yang berbentuk teks, karena hadis ada setelah rasulullah wafat, sehinggaada hadis yang palsu.
Adapula pendapat yang mengatakan bahwa  dari sudut pandang terminologis, para Ahli Hadits tidak membedakan antara Hadits dan Sunnah. Menurut mereka, Hadits atau sunnah adalah hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, penetapan, maupun sifat-sifat ini baik berupa sifat-sifat pisik, moral, maupun, perilaku, dan hal itu baik sebelum beliau menjadi Nabi maupun sesudahnya. Sementara para pakar Ilmu Ushul Fiqhi membedakan antara Hadits dan Sunnah. Menurut mereka, Sunnah adalah perkataan, perbuatan, dan penetapan Nabi SAW. Sedangkan Hadits adalah perkataan, perbuatan, penetapan dan sifat-sifat Nabi SAW. Jadi mereka tidak menganggap sifat-sifat Nabi SAW itu sebagai Sunnah, melainkan sebagai Hadits. Berbeda dengan pakar Hadits yang menganggap sifat-sifat Nabi SAW juga sebagai Sunnah.[10]
             Perbedaan definisi ini berangkat dari perbedaan mereka dalam memandang Hadits sebagai sumber hukum dan moral dalam agama Islam. Para pakar Ilmu Ushul Fiqih, karena pekerjaan mereka adalah menggali hukum Islam dari al-Qur’an an Hadits, maka bagi mereka, hal-hal yang bersal dari Nabi SAW dan dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam itu adalah perkataan, perbuatan, dan penetapan beliau. Sedangkan sifat-sifat Nabi SAW tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam.

              Sementara para Ulama Hadits melihat bahwa sosok pribadi Nabi SAW adalah seorang pemimpin dan pemberi petunjuk kepada umatnya, dimana perkataan, perbuatan, penetapan, dan sifat-sifat beliau perlu dijadikan contoh dan anutan bagi mereka. Karenanya, para Ulama Hadits tidak membedakan apakah hal itu berkaitan dengan hukum dan moral. Jadi menurut para Ulama Hadits semua yang bersal ari Nabi SAW menjadi sumber aturan-aturan dalam agama Islam.[11]

              Terlepas dari perbedaan itu, istilah Sunnah tampaknya lebih mendominasi peristilahan kalangan pakar Ushul Fiqih sementara istilah Hadits lebih banyak dipergunakan oleh Ahli-ahli Hadits.

PERBEDAAN AL-QUR’AN DAN AL-HADIS

Sekalipun al Qur'an dan as Sunnah/ al Hadits sama-sama sebagai sumber hukum Islam, namun di antara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil. 

Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain: 
1) Nilai kebenaran al Qur'an adalah "qoth'i" (absolut), sedangkan al Hadits adalah "zhanni" (kecuali hadits mutawatir) 
2) Seluruh ayat al Qur'an mesti dijadikan sebagai pedoman hidup. 
Tetapi tidak semua hadits mesti kita jadikan sebagai pedoman hidup. 
Sebab disamping ada sunnah yang tasyri' ada juga sunnah yang ghoiru tasyri'. 
Disamping ada hadits yang shohih, ada pula hadits yang dho'if dan seterusnya. 
3) Al Qur'an sudah pasti otentik lafazh dan maknanya, sedangkan hadits tidak 
4) Apabila al Qur'an berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghoib maka setiap muslim wajib mengimaninya. 
Tetapi tidak demikian apabila masalah tersebut diungkapkan oleh hadits (ada yang wajib diimani dan ada yang tidak). 
SEJARAH PERKEMBANGAN HADIS

A.
     Periwayatan Hadis Masa Nabi Muhammad SAW
Nabi dalam melaksanakan tugas sucinya yakni sebagai Rasul berdakwah, menyampaikan dan mengajarkan risalah islamiyah kepada umatnya. Nabi sebagai sumber hadis menjadi figur sentral yang mendapat perhatian para sahabat. Segala aktifitas beliau seperti perkataan, perbuatan dan segala keputusan beliau diingat dan disampaikan kepada sahabat lain yang tidak menyaksikannya, karena tidak seluruh sahabat dapat hadir di majelis Nabi dan tidak seluruhnya selalu menemani beliau. Bagi mereka yang hadir dan mendapatkan hadits dari beliau berkewajiban menyampaikan apa yang dilihat dan apa yang didengar dari Rasulullah SAW. Baik ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadits-Hadits dari Rasulullah. Mereka sangat antusias dan patuh pada perintah-perintah Nabi SAW.  
Hadis yang diterima oleh para sahabat cepat tersebar di masyarakat. Karena, para sahabat pada umumnya sangat berminat untuk memperoleh hadis Nabi dan kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Hal ini terbukti dengan beberapa pengakuan sahabat Nabi sendiri, misalnya sebagai berikut:
‘Umar bin al-Kaththab telah membagi tugas dengan tetangganya untuk mencari berita yang berasal dari Nabi. Kata ‘Umar, bila, tetangganya hari ini menemui Nabi, maka ‘Umar pada esok harinya menemui Nabi. Siapa yang bertugas menemui Nabi dan memperoleh berita yang berasal atau berkenaan dengan Nabi, maka dia segera menyampaikan berita itu kepada yang tidak bertugas. Dengan demikian, para sahabat Nabi yang kebetulan sibuk tidak sempat menemui Nabi, mereka tetap juga dapat memperoleh hadis dari sahabat yang sempat bertemu dengan Nabi. Malik bin al-Huwayris menyatakan
ا تيت ا لنبي ص ف نفر من قؤ مي فا قمنا عند ه عشر ين ليلة ؤ كا ن ر حيما ر فيق فلما ر ا ي شؤ قنا ا لي ا ها لينا قا ل : ا ر جعؤ ا فكؤ نؤا فيهم ؤ علمؤ هم ؤ صلؤا فا ذاحضرت الصلا ة فليؤذن لكم احدكم ؤايؤمكم اكبركم.(روه البخاي عن ما لك بن الحؤيرث)

Saya  (Malik bin al-Huwayris) dalam satu rombongan kaum saya datang kepada Nabi saw. Kami tinggal disisi beliau selama dua puluh malam. Beliau adalah seorang penyayang dan akrab. Tatkala beliau melihat kami telah merasa rindu kepada para keluarga kami, beliau bersabda; “Kalian pulanglah, tinggallah bersama keluarga kalian, ajarlah mereka, dan lakukan shalat bersama mereka.
Al-Bara’ bin ‘Azib al-Awsiy telah menyatakan:

ليس كلنا كا ن يسمع حد يث ر سؤ ل الله ص ك نت لنا ضيعه ؤ ا شغا ل ؤ لكن ا لنا س لم يكؤ نؤا يكذ
بؤ ن يؤ مءذ فيحد ث ا لشا هد ا لغا ءب


Tidaklah kami semua (dapat langsung) mendengar hadis Rasulullah saw. (Kerena diantara) kami ada yang tidak memiliki waktu, atau sangat sibuk. Akan tetapi ketika itu orang-orang tidak ada yang berani melakukan kedustaan (terhadap hadis Nabi). Orang-orang yang hadir (menyaksikan terjadinya hadis Nabi) memberitakan (hadis itu) kepada orang-orang yang tidak hadir.
Pernyataan al-Bara’ ini memberi petunjuk: (1) Hadis yang diketahui oleh sahabat tidaklah seluruhnya langsung diterima dari Nabi, melainkan ada juga yang diterima melalui sahabat lain; (2) walaupun para sahabat banyak yang sibuk, tetapi kesibukan itu tidak menghalangi kelancaran penyebaran hadis Nabi.
Para sahabat menerima hadits secara langsung dan tidak langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi SAW. Memberi ceramah, pengajian, khotbah atau penjelasan terhadap pertanyaan-pertanyaan para sahabat. Adapun penerimaan secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh Nabi ke daerah-daerah atau utusan daerah yang datang kepada Nabi.
Pada masa Nabi SAW. Kepandaian baca tulis dikalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis dikalangan sahabat masih kurang, Nabi menekankan untuk menghafal, memahami, memelihara, mematerikan dan memantapkan hadits dalam amalan sehari-hari, serta mentabligkannya kepada orang lain.
Tidak ditulisnya hadits secara resmi pada masa Nabi, bukan berarti tidak ada sahabat yang menulis hadits. Dalam sejarah penulisan hadits terdapat nama-nama sahabat yang menulis hadits, diantaranya:
a.      ‘Abdullah ibn Amr ibn ‘Ash (w. 65 H/685 M), shahifahnya disebut Ash-Shadiqah.
b.      Ali ibn Abi Thalib (w.40 H/611 M), penulis hadits tentang hukum diyat, hukum keluarga, dll
c.      Anas bin Malik
d.      Sumrah ibn Jundab (w.60 H/680 M)
e.      Abdullah ibn Abbas (w. 69 H/689 M)
f.       Jabir ibn ‘Abdullah al-Anshari (w. 78 H/697 M)
g.      Abdullah ibn Abi Awfa’ (w.86 H)
Dalam menyampaikan hadits-haditsnya, Nabi menempuh beberapa cara, yaitu :
Pertama, melalui majelis al-‘ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membinah para jemaah, melalui majelis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah jg menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika nabi menyampaikan suatu hadits, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh Rasulullah sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang saja.
Ketiga, untuk hal-hal sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keuarga dan kebutuhan biologis, terutama yang menyangkut hubungan suami istri, Nabi menyampaikan melalui istri-istrinya. Seperti kasus ketika Nabi menjelaskan tentang seorang wanita yang bertanya kepada Nabi SAW. Tentang mandi wanita yang telah suci dari haidnya. Nabi menyuruh wanita itu untuk mandi sebagaiman mestinya, tetapi ia belum mengetahui bagaimana cara mandi sehingga Nabi bersabda : “Ambillah seperca kain (yang telah diolesi dengan wangi-wangian) dari kasturi, maka bersihkanlah dengannya”. Wanita itu bertanya lagi, “bagaimana saya membersihkannya?” Nabi bersabda : “Bersihkanlah dengannya”. Wanita tersebut masih bertanya lagi, “bagaimana (caranya)?” Nabi bersabda : Subhanallah hendaklah kamu bersihkan”. Maka ‘Aisyah, istri Nabi berkata : “Wanita itu saya tarik kearah saya dan saya katakan kepadanya, “Usapkanlah seperca kain itu ke tempat bekas darah”. Pada hadits ini, Nabi dibantu oleh ‘Aisyah, istrinya, untuk menjelaskan hal sensitif berkenaan dengan kewanitaan. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal-hal yang berkaitan dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul SAW. Sering kali mereka bertanya kapada istri-istrinya.
Keempat, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika futuh Mekkah dan haji wada’. Ketika menunaikan ibadah Haji pada tahun 10 H (631 M), Nabi menyampaikan Khotbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu kaum muslimin yang melakukan ibadah haji, yang isinya banyak terkait dengan bidang muamalah, siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia.
Kelima, melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya, yaitu dengan jalan musyahadah, seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan muamalah. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Nabi lalu Nabi menjelaskan hukumnya dan berita itu tersebar dikalangan umat islam. Misalnya suatu ketika Nabi berjalan-jalan di pasar dan bertemu dengan seorang laki-laki yang sedang membeli makanan (gandum), Nabi menyuruhnya memasukkan tangannya kedalam gandum tersebut, dan ternyata di dalamnya basah, lalu Nabi bersabda :
ليس منا من غش       
“Tidak termasuk golongan kami orang yang menipu”.
Secara resmi memang Nabi melarang menulis hadits bagi umum karena khawatir campur antara hadits dan Al-Qur’an. Jika prasarana yang sangat sederhana Al-Qur’an dan Hadits ditulis diatasnya dalam bentuk satu catatan atau satu lembar pelepah kurma, sulit untuk membedakan antara Al-Qur’an dan Hadits.
Banyak hadits yang melarang para sahabat untuk menulisnya, tetapi banyak juga hadits yang perintah menulisnya. Diantara hadits yang melarang penulisannya adalah sebagai berikut :



Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah SAW. Bersabda : “Janganlah engkau tulis dari padaku, barang siapa yang menulis dari padaku selain Al-Qur’an maka hapuslah. (HR. Muslim)
Sedang Hadits yang memperbolehkan penulisan sunnah juga banyak sekali, diantaranya ialah :
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa ada seorang laki-laki dari sahabat anshar menyaksikan hadits Rasulullah tetapi tidak hafal, kemudian bertanya kepada Abu Hurairah maka ia memberitakannya. Kemudian ia mengadu kepada Rasulullah SAW. Tentang hafalannya yang minim tersebut, maka Nabi bersabda :
 عل حفظك بيمينكاستعن

Bantulah hafalanmu dengan tanganmu (HR. At-Tirmidzi)
Dalam mencari solusi dua versi yang kontra di atas para ulama berbeda pendapat. Diantaranya mereka berpendapat bahwa hadits yang melarang penulisan di hapus (di-nasakh) dengan hadits yang membolehkannya. Lebih dari itu al-Bukhari berpendapat hadits larangan penulisan yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri mauquf pada Abu Sa’id al-Khudri. Bahkan semua hadis larangan penulisan berkualitas dha’if, kurang kuat dijadikan alasan. Dengan demikian penulisan hadits tetap diperbolehkan bahkan diperintahkan dalam rangka memelihara sunnah sebagai sumber syari’ah islamiyah sampai sekarang dan kesimpulan inilah yang disepakati para ulama.
Disamping itu, ketika Nabi SAW. Menyelenggarakan dakwah dan pembinaan umat, beliau sering mengirimkan surat-surat seruan pemberitahuan, antara lain kepada para pejabat di daerah dan surat tentang seruan dakwah islamiyah kepada para raja dan kabilah, baik di timur, utara dan barat, surat-surat tersebut merupakan koleksi hadits-hadits juga. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa pada masa Nabi SAW. Telah dilakukan penulisan hadits dikalangan sahabat.
B.    Periwayatan Hadis pada Masa Sahabat
Setelah Nabi wafat (11 H = 632 M), sahabat tidak dapat lagi mendengar sabda-sabda, menyaksikan perbuatan-perbuatan dan hal ihwal Nabi secara langsung. Kepada umatnya beliau juga meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Qur’an dan Hadits (as-Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.
 kendali kepemimpinan ummat islam berada ditangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar al-Shiddiq (wafat 13 H = 634 M), kemudian disusul oleh ‘Umar bin al-Khaththab (wafat 23 H = 644 M), ‘Usman bin ‘Affan (wafat 35 H = 656 M), dan ‘Aliy bin Abiy Thalib (wafat 40 H = 661 M), keempat khalifa ini dalam sejarah dikenal denga sebutan al-Khulafa’ al-Rasyidin dan periodenya biasa disebut dengan Zaman Sahabat Besar.
Periwayatan hadits pada masa sahabat terutama masa al-Khulafa’ al-Rasyidun sejak tahun 11 H sampai 40 H, belum begitu berkembang. Pada satu sisi, perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an dan mereka berusaha membatasi periwayatan hadits tersebut. Masa ini disebut dengan masa pembatasan dan memperketat periwayatan (al-tatsabbut wa al-‘iqlah min al-riwayah). Pada sisi lain, meskipun perhatian sahabat terpusat pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an, tidak berarti mereka tidak memegang hadits sebagaimana halnya yang mereka diterima secara utuh ketika Nabi masih hidup. Mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadits itu.
Berikut ini dikemukakan sikap al- Khulafa’ al-Rasyidin tentang periwayatan hadis Nabi.
Ø Abu Bakar al-Shiddiq
Menurut muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy (wafat 748 H = 1347 M), Abu Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadis. Pernyataan al-Dzahabiy ini didasarkan atas pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek menghadap kepada Khalifa Abu Bakar, memintah hak waris dari harta yang ditinggal oleh cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa dia tidak melihat petunjuk Quran dan praktek Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanya  kepada para sahabat. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa nabi telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam bagian.
Kasus diatas memberikan petunjuk, bahwa Abu Bakar ternyata tidak bersegara menerima riwayat hadis, sebelum meneliti periwayatannya. Dalam melakukan penelitian, Abu Bakar meminta kepada periwayat hadis untuk menghadirkan saksi.
Karena Abu Bakar sangat berhati-hati dalam periwayatan hadis, maka dapat dimaklumi bila jumlah hadis yang diriwayatkan relatif tidak banyak.Padahal dia seorang sahabat yang telah bergaul lama dengan dan sangat akarab dengan Nabi, mulai dari zaman sebelum Nabi hijrah ke Madinah sampai Nabi wafat. Dalam pada itu harus pula dinyatakan, bahwa sebab lain sehingga Abu Bakar hanya sedikit meriwayatkan hadis karena: (a) dia selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat Khalifah; (b) kebutuhan akan hadis tidak sebanyak pada zaman sesudahnya; (c) jarak waktu antara kewafatannya dengan kewafatan Nabi sangat singkat.
Ø Umar bin al-Khaththab
‘Umar dikenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadis. Hal ini terlihat, misalny, ketika ‘Umar mendengar hadis yang disampaikan kepada Ubay bin Ka’ab. ‘Umar barulah bersedia menerima riwayat hadis dai Ubay, setelah para sahabat yang lain, diantaranya Abu Dzarr menyatakan telah mendengar pula hadis Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya ‘Umar berkata kepada Ubay: “Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya berlaku demikian, karena saya ingin berhati-hati dalam periwayatan hadis Nabi.
Kabajikan ‘Umar melarang para sahabat Nabi memperbanyak periwayatan hadis, sesungguhnya tidaklah berarti bahwa ‘Umar sama sekali melarang para sahabat meriwayatkan hadis. Laranga ‘Umar tampaknya tidak tertuju kepada periwayatan itu sendiri, tetapi dimaksudkan: (a) Agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadis; dan (b) agar perhatian masyarakat terhadap Quran tidak terganggu.
Sebagian ahli hadits mengemukakan bahwa Abu Bakar dan ‘Umar menggariskan bahwa hadits dapat diterima apabila diserta saksi atau setidak-tidaknya periwayat berani bersumpah. Pendapat ini menurut al-Siba’i, sampai wafatnya ‘Umar juga menerima beberapa hadits meskipun hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat hadits. Untuk masalah tertentu sering kali ‘Umar juga menerima periwayatan tanpa saksi dari orang tertentu, seperti hadits-hadits dari ‘Aisyah. Manurut al-Siba’i, sampai wafatnya ‘Umar hadits belum banyak yang tersebar dan masih dalam keadaan terjaga di hati para sahabat. Baru pada masa ‘Utsman ibn ‘Affan, periwayatan hadits diperlonggar.
Ø Usman bin ‘Affan
Secara umum,kebijakan ‘Usman tentang periwayatan hadis tidak jauh berbedah dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua Khalifa pendahulunya. Hanya saja, langkah ‘Usman tidaklah setegas langkah ‘Umar bin al-Khaththab.
Dalam suatu kesempatan khutbah, ‘Usman memintah kepada para sahabat agat tidak banyak meriwayatkan hadis yang mereka tidak pernah mendengar hadis itu pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar. Pernyataan ‘Usman ini menunjukkan pengakuan ‘Usman atas hati-hati kedua Khalifah pendahulunya. Sikap hati-hati itu ingin dilanjutkan pada zaman kekhalifahannya.
Dengan demikian, para sahabat Nabi  sangat kritis dan hati-hati dalam periwayatan hadits. Tradisi kritis dikalangan sahabat menunjukkan bahwa mereka sangat peduli tentang kebenaran dalam periwayatan hadits : pertama,para sahabat, sebagaimana dirintis oleh al-Khulafa’ al-Rasyidun, bersikap cermat dan berhati-hati dalam menerima suatu riwayat. Ini dikarenakan meriwayatkan hadits Nabi merupakan hal penting, sebagai wujud kewajiban taat kepadanya. Berhubung tidak setiap periwayat menerima riwayat langsung dari Nabi, maka dibutuhkan perantara antara periwayat setelah sahabat, bahkan antara sahabat sendiri dengan Rasulullah SAW. Karena tidak dimungkinkan pertemuan langsung dengannya. Kedua, para sahabat melakukan penelitian dengan cermat terhadap periwayat maupun isi riwayat itu sendiri. Ketiga, para sahabat sebagaimana dipelopori oleh Abu Bakar, mengharuskan adanya saksi dalam periwayatan hadits. Keempat, para sahabat, sebagaimana dipelopori ‘Ali bin ‘Abi Thalib, meminta sumpah dari periwayat hadits. Kelima, para sahabat menerima riwayat dari satu orang yang terpercaya. Keenam, diantara para sahabat terjadi penerimaan dan periwayatan hadits tanpa pengecekan terlebih dahulu apakah benar dari Nabi atau perkataan orang lain dikarenakan mereka memiliki agama yang kuat sehingga tidak mungkin pendusta.
Sahabat ‘Umar bin al-Khathab juga pernah ingin mencoba menghimpun hadits tetapi setelah bermusyawarah dan beristikharah selama satu bulan beliau berkata :
“sesungguhnya aku punya hasrat menulis sunnah, aku telah menyebutkan suatu kaum sebelum kalian yang menulis beberapa buku kemudian mereka sibuk dengannya dan meninggalkan kitab Allah SWT. Demi Allah sesungguhnya aku tidak akan mencampur adukkan kitab Allah dengan sesuatu yang lain selamanya”.
Kekhawatiran ‘Umar bin al-Khathab dalam pembukuan hadits adalahtasyabbuh atau menyerupai dengan ahli kitab yakni Yahudi dan Nasrani yang meninggalkan kitab Allah dan menggantikannya dengan kalam mereka dan menempatkan biografi para Nabi mereka di dalam kitab Tuhan mereka. ‘Umar khawatir umat islam meninggalkan Al-Qur’an dan hanya membaca hadits. Jadi Abu Bakar dan ‘Umar tidak berarti melarang pengkodifikasian hadits tetapi melihat kondisi pada masanya belum memungkinkan untuk itu.
Dalam praktiknya, ada dua cara sahabat meriwayatkan suatu hadits, yaitu :
1.    Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW. Yang mereka hafal benar lafazh dari Nabi.
2.    Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hafal lafazh asli dari Nabi SAW.
Pada masa ‘Ali r.a., timbul perpecahan dikalangan umat islam akibat konflik politik antara pendukung ‘Ali dengan Mu’awiyah. Umat islam terpecah menjadi tiga golongan :
1.    Syi’ah, pendukung setia terhadap ‘Ali, diantara mereka fanatik dan terjadi pengkultusan terhadap ‘Ali.
2.    Khawarij, golongan pemberontak yang tidak setuju dengan perdamaian (tahkim) dua kelompok yang bertikai. Kelompok ini semula menjadi pendukung ‘Ali tetapi kemudian mereka keluar karena tidak menyetuji perdamaian.
3.    Jumhur Muslimin, diantara mereka ada yang mendukung pemerintahan ‘Ali, ada yang mendukung pemerintahan Mu’awiyah dan ada pula yang netral tidak mau melibatkan diri dalam kancah konflik.
C.    Periwayatan Hadits Pada Masa Tabi’in
Sebagaimana para sahabat, para tabi’in juga cukup berhati-hati dalam periwayatan hadits. Hanya saja, beban mereka tidak terlalu berat jika dibandingkan dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini, Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga tidak lagi mengkhawatirkan mereka. Selain itu, pada masa akhir periode al-Khulafa’ al-Rasyidun (masa khalifah ‘Utsman bin ‘Affan) para sahabat ahli hadits telah menyebar kebeberapa wilayah kekuasaan islam. Ini merupakan kemudahan bagi para tabi’in untuk mempelajari hadits-hadits dari mereka. Kondisi ini juga berimplikasi pada tersebarnya hadits keberbagai wilayah islam. Oleh sebab itu, masa ini dikenal dengan masa menyebarnya periwayatan hadits (‘ashr intisyar al-riwayah), yaitu masa di mana hadits tidak lagi hanya terpusat di Madinah tetapi sudah diriwayatkan diberbagai daerah dengan para sahabat sebagai tokoh-tokohnya.
Pada masa ini daerah kekuasaan islam semakin luas. Banyak sahabat ataupun tabi’in yang pindah dari Madinah ke daerah-daerah yang baru dikuasai, disamping banyak pula yang masih tinggal di Madinah dan Mekah. Para sahabat pindah ke daerah baru disertai dengan membawa perbendaharaan hadits yang ada pada mereka, sehingga hadits-hadits tersebar diberbagai daerah. Kemudian bermunculan sentra-sentra hadits sebagaimana dikemukakan Muhammad Abu Zahw, yaitu :
1.    Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Aisyah, Abu Hurairah, Ibn ‘Umar, Abu Sa’id al-Khudri, dll. Tokoh dari kalangan tabi’in : Sa’id ibn Musayyib, ‘Umar ibn Zubair, Nafi’ Maula ibn ‘Umar, dll.
2.    Mekah, dengan tokoh hadits dari kalangan sahabat : Ibn ‘Abbas, ‘Abdullah ibn Sa’id, dll. Dari kalangan tabi’in, tokohnya antara lain : Mujahid ibn Jabr, ‘Ikramah Mawla ibn ‘Abbas, ‘Atha ibn Abi Rabah, dll.
3.    Kufah, dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Abdullah ibn Mas’ud, Sa’id ibn Abi Waqqas, dan Salman al-Farisi. Tokoh dari kalangan tabi’in : Masruq ibn al-Ajda’, Syuraikh ibn al-Haris, dll.
4.    Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat : Mu’adz ibn Jabal, Abu al-Darda’, ‘Ubadah ibn Shamit, dll. Tokoh dari kalangan tabi’in : Abu Idris, Qabishah ibn Zuaib, dan Makhul ibn Abi Muslim.
5.    Mesir, dengan tokoh dari kalangan sahabat : ‘Abdullah ibn Amr al-Ash, ‘Uqbah ibn Amir, dll. Tokoh dari kalangan tabi’in : Yazid ibn Abi Hubaib, Abu Bashrah al-Ghifari, dll.
Hadits-hadits yang diterima oleh para tabi’in ini ada yang dalam bentuk catatan-catatan atau tulisan-tulisan dan ada pula yang harus dihafal, disamping dalam bentuk-bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu hadits pun yang tercecer atau terlupakan. Sungguhpun demikian, pada masa pasca-sahabat ini muncul kekeliruan periwayatan hadits ketika kecermatan dan sikap hati-hati melemah.

PEMBAGIAN HADIS DARI SEGI KUALITAS DAN KUANTITAS HADIS



  Hadits Ditinjau Dari Segi Kuantitasnya

Ulama’ berbeda pendapat tentang pembagian hadist ditinjau dari segi kualiatas dan kuantitasnya ini. Pendapat pertama, yang menjadikan hadis Mansur berdiri sendiri, tidak terrmasuk bagian dari hadits ahad, diannuat oleh sebagian ulama ushul, diantaranya adalah Abu Bakar Al Jassa (305-370 H). Sedang ulama golongan kedua dianut oleh kebanyakan ulama  ushu dan ulama kalam. Menurut mereka , hadist Mansur bukan merupakan hadis yang berdiri sendiri, akan tetapi hanya bagian dari hadis ahad.
 Mereka membagi hadis menjadi dua bagian yaitu mutawatir dan ahad.
1.      Hadis mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi yakni yang datang berikutnya atau beriring-iringan ynag antara satu dengan yang lain ada jaraknya.[1]
sedangkan  pengertiaan hadis mutawatir menurut istilah terdapat beberapa definisi, antara lain:
Ø  ‘’Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta’’.
Ada juga yang mengatakan:
Ø  Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu berdusta. Sejak awal sanad sampai akhir sanad, pada setiap tingkat(tabaqat).




Syarat- Syarat Hadis Mutawatir :
a)      Diriwayatkan Oleh Sejumlah Besar Perawi
      Hadis mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa kepada keyakinan bahwa meraka itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Mengenai masalah ini para ulam berbeda pendapat sesuaia dengan firman Allah, ada yang menyebutkan jumlahnya 5 orang , 10 orang , 12 orang , 20 orang , 40 orang dan ada yang 70 orang, penentuan jumlah-jumlah tertentu sebagaimana disebutkan diatas, sebetulanya bukan merupakan hal yang yang sangat prinsip ,sebab persoalan pokok yang dijadikan ukuran untuk menetapakan sedikt  atau banyaknya jumlah hadis mutawatir tersebut bukan terbatas pada jumlahnya , tetapi diukur pada tercapainya “Ilmu Dharuri. Sekalipun jumlah perawinya tidak banyak (tetapi melebihi batas minimal yakni 5 orang), asalkan telah memberikan keyakinan bahwa berita yang mereka sampaikan itu bukan kebohongan, sudah dapat dimasukkan sebagai hadis mutawawatir.
b)      Adanya Keseimbangan Antar Perawi Pada Thabaqat Pertama Dengan Thabaqat Berikutnya, maksudanya bila suatu hadis diriwayatkan oleh dua puluh orang sahabat, kemudian diterima oleh sepuluh tabi’in, dan selanjutnya hanya diterima oleh lima tabi’in tidak dapat digolongkan sebagai hadis metawatir , sebab rawinya tidak seimbang antara tabaqat pertama dengan thabaqat-thabaqat berikutnya[2].  
c)      Berdasarakan Tanggapan Pancaindra
Berita yang disampaikan oleh perawinya tersebut harus berdasarkan tanggapan panca indra. Artinya kalau berita mereka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau penglihatannya sendiri, oleh karena itu, abila berita itu merupakan hasila renungan, pemkiran atau rangkuman dari suatau peristiwa lain ataupun hasil istimbat dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadis mutawatir, misalnya berita tentang baharunya alam semesta yang berpijak pada pemikiran bahwa setiap benda yang rusak itu baharu, maka berita seperti ini tidak dapat dikatakan hadis mutawatir.[3]






o   Pembagian Hadist Mutawatir
            Menurut sebagian ulama hadits mutawatir itu terbagi menjadi dua ,yaitu mutawatir  lafdzi  dan  mutawatir maknawi. Namun ada juga yang memabaginya menjadi tiga yakni ditambah dengan hadis mutawatir amali.[4]
a.       Mutawatir Lafdzi
Yang dimaksud dengan hadis mutawatir lafdzi adalah “hadis yang mutawatir periwatannya dalam satu lafdzi.
b.      Mutawatir  Maknawi
Yang dimaksud hadis mutawatir maknawi adalah hadis yang maknanya mutawatir, tetapi lafalnya tidak.[5]
c.       Mutawatir Amali
Yang dimaksud dengan mutawatir amali adalah sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan agama dan telah muatwatir antara umat islam, bahwa Nabi SAW menrjakannya, menyuruhanya, atau selaian dari itu dan pengertian ini sesuai dengan ta’rif ijama’.

2.      Hadis Ditinjau dari Segi Kualitasnya
Ditinjau dari segi kualitasnya ulama’ ahli hadis membagi menjadi dua: yaitu hadist maqbul dan hadist mardud.
1.      Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti  ma’khus(yang di ambil) dan  mushaddaq( yang di benarkan atau di terima).sedangkan menurut istilah adalah: Hadits yang telah sempurna padanya,syarat-syarat penerimaan.
2.      Hadits Mardud
Mardud  menurut bahasa berarti “yang ditolak” atau yang tidak di terima”.
Sedangkan mardud menurut istilah ialah “ Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat hadits maqbul”[6]


DALIL YANG MEMPERBOLEHKAN HADIS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM KEDUA
Ada banyak dalil dalam al-qur’an yang memperbolehkan hadis sebagai sumber  hukum diantaranya  adalah SURAH AL-FATH AYAT 10, SURAH AL-MAIDAH AYAT 92, SURAH ANNISA AYAT 65 dan lain-lainnya , yang akan dijabarkan lebih mendalam pada penjelasan dibawah ini.
Umat Islam telah bersepakat tentang wajibnya beramal dgn Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam nan shahih, bahkan nan demikian termasuk memenuhi seruan Allah & Rasul-Nya. Kaum Muslimin menerima As-Sunnah sebagaimana mereka menerima Al-Qur-an, karena As-Sunnah merupakan sumber tasyri' nan disaksikan Allah.
قُل لَّا أَقُولُ لَكُمْ عِندِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ ۖ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰ إِلَيَّ ۚ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَىٰ وَالْبَصِيرُ ۚ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ
“Katakanlah: ‘Aku tak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah padaku, & tak pula aku mengetahui nan ghaib & tak pula aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang Malaikat. Aku tak mengikuti kecuali apa nan diwahyukan kepadaku. ' Katakanlah: ‘Apakah sama orang nan buta dgn orang nan melihat?' Maka apakah kamu tak memikirkannya?” [Al-An'aam: 50]
Kaum muslimin sejak masa Shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Tabi'in, Tabiut Tabi'in, & generasi-generasi nan sesudahnya sampai hari ini mereka selalu mengembalikan setiap persoalan agama kepada Al-Qur-an & As-Sun-nah, berpegang teguh dengannya & menjaganya.
Di antara dalil-dalil nan menunjukkan bahwa para Shabahat & Tabi'in berpegang teguh kepada As-Sunnah adalah:
Pertama: Tatkala Abu Bakar Radhiyallahu anhu memegang tampuk khilafah, datang Fathimah binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menemuinya menanyakan bagian warisan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian Abu Bakar Radhiyallahu anhu berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya apabila Allah memberi makan seorang Nabi kemudian ia diwafatkan, maka ia menjadikan warisan bagi orang nan sesudahnya. ' Karena itu, aku memandang bagian itu harus dikembalikan kepada kaum muslimin. ” Fathimah berkata, “Engkau lebih mengetahui daripada aku tentang apa-apa nan telah engkau dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. ” (*1)
Dalam riwayat nan lain, Abu Bakar Radhiyallahu anhu berkata,
لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلاَّ عَمِلْتُ بِهِ، فَإِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ.
“Aku tak akan meninggalkan sesuatu pun nan diamalkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, aku khawatir bila aku meninggalkan perintahnya aku akan tersesat. ” (*2)
Kedua: ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berdiri di hadapan Hajar Aswad seraya berkata, “Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau adalah batu, seandainya aku tak lihat kekasihku (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) menciummu atau menyentuhmu, niscaya aku tak akan menyentuh & menciummu. “(*3)
Ketiga: ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu berkata tentang berdirinya orang-orang ketika jenazah lewat: “Aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri, maka kami pun berdiri, & ketika beliau duduk, kami pun duduk. ” (*4)
Keempat: Ada orang berkata kepada ‘Abdullah bin ‘Umar: “Kami tak mendapati dlm Al-Qur-an tentang cara shalat Safar?” Ibnu ‘Umar berkata, “Sesungguhnya Allah telah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kita ini & tadinya kita ini tak mengetahui sesuatu. Karena itu, kita ini berbuat (beramal) sebagaimana kita ini melihat apa nan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam amalkan. “
Dalam riwayat nan lain ia berkata: “Tadinya kita ini sesat, lalu Allah menunjukkan kita ini dgn beliau, karena itu kita ini wajib mengikuti jejak beliau. ” (*5)
Kelima: Datang seorang wanita kepada ‘Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Aku diberi kabar bahwa engkau melarang wanita menyambung rambut?” ‘Abdullah bin Mas'ud berkata: “Benar. ” Wanita tersebut berkata: “Apakah larangan itu ada dlm Kitabullah atau engkau dengar langsung dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam?” ‘Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu anhu menjawab, “Aku mendapatkan larangan itu dlm Kitabullah & sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam” Wanita tersebut berkata lagi: “Demi Allah, aku telah membaca mushhaf Al-Qur-an dari awal hingga akhir tetapi aku tak mendapatkan larangan itu. ” Ibnu Mas'ud berkata: “Bukankah ada di dalamnya ayat:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
‘. . . Apa-apa nan datang dari Rasul, kamu ambil & apa-apa nan dilarang kamu tinggalkan…'” [Al-Hasyr: 7]
Wanita itu menjawab: “Ya. ” Selanjutnya Ibnu Mas'ud berkata: “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang (dalam lafazh lain: melaknat) mencabut bulu dahi, mengikir gigi, menyambung rambut & mencacah kecuali karena sakit. ” (*6)
Keenam: Abu Nadhrah meriwayatkan dari Shahabat ‘Imran bin Hushain, ada seorang datang kepadanya bertanya tentang sesuatu, lalu ‘Imran bin Hushain menjawabnya dari Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu orang nan bertanya tadi berkata, “Jawablah dari Kitabullah, jangan engkau sampaikan selainnya. ” ‘Imran berkata: “Engkau adalah orang bodoh (tolol). . . Apakah engkau mendapatkan dlm Al-Qur-an tentang shalat Zhuhur nan 4 raka'at, tak dijahrkan bacaannya, bilangan raka'at shalat, ukuran zakat…?” Kemudian ia berkata lagi, “Apakah engkau mendapatkan semua itu diterangkan dlm Al-Qur-an? Ketahuilah, Al-Qur-an nan memerintahkan & As-Sunnah nan menafsirkan atau menjelaskannya. ” (*7)
Sebenarnya masih banyak lagi contoh-contoh tentang berpegangnya para Shahabat & Tabi'in terhadap Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam nan kemudian diikuti oleh orang-orang sesudahnya. Mutharrif bin ‘Abdillah bin Syikhir (salah seorang dari kalangan Tabi'in) pernah ditanya oleh seseorang: “Jangan engkau sampaikan kepada kami melainkan dari Al-Qur-an saja. ” Mutharrif berkata, “Demi Allah, kami tak menghendaki ganti dari Al-Qur-an, tetapi kami ingin (menyampaikan) penjelasan dari orang nan lebih mengetahui tentang Al-Qur-an daripada kami, yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (*8). Beliau nan menjelaskan Al-Qur-an, me-nerapkan dlm taklimnya, menerangkan maksud & tujuan firman Allah, serta merinci hukum-hukumNya dgn Sunnah beliau nan suci. Beliau adalah qudwah bagi kaum Muslimin (sampai hari Kiamat), oleh karena itu berpeganglah kalian dgn As-Sunnah ini sebagai-mana kalian berpegang kepada Al-Qur-anul Karim, & jagalah As-Sunnah ini sebagaimana kalian menjaga Al-Qur-an.
PENGERTIAN HADIS SAHIH LIDZATIHI, SAHIH LIGHAIRIHI, HASAN, HASAN LIDZATIHI, DAN AHSAN LIGHAIRIHI
Shahih Lidzatihi : hadits yang shahih berdasarkan persyaratan shahih yang ada di dalamnya, tanpa membutuhkan penguat atau faktor eksternal.
Shahih Lighairihi : hadits yang hakikatnya adalah hasan, dan karena didukung oleh hadits hasan yang lain, maka dia menjadi Shahih Lighairihi.
Ash-Shahihain : Dua kitab shahih yaitu: Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.
Asy-Syaikhain : Imam al-Bukhari dan Imam Muslim.
Hadits Hasan : Hadits yang sanadnya bersambung, yang diri-wayatkan oleh rawi yang adil dan memiliki hafalan yang sedang-sedang saja (khafif adh-Dhabt) dari rawi yang semisalnya sampai akhir sanadnya, serta tidak syadz dan tidak pula me-miliki illat.
Hasan Lidzatihi : hadits yang hasan berdasarkan persyaratan hasan yang ada di dalamnya, tanpa membutuhkan penguat atau faktor eksternal.
Hasan Lighairihi : hadits yang hakikatnya adalah dla’if, dan karena didukung oleh hadits dla’if yang lain, maka dia menjadi hasan Lighairihi.

INGKAR SUNNAH PAHAM YANG MENYIMPANG
Belakangan ini santer terdengar kabar tentang munculnya aliran baru yang menganut paham mengingkari adanya sunnah atau sering disebut aliran ingkar sunnah.
Kelompok ingkar sunnah sebenarnya sudah ada sejak lama. Kelompok ini merupakan pecahan dari aliran Mu’tazilah yang didirikan oleh Washil ibn Atho’. Mu’tazilah termasuk dari aliran-aliran teologi Islam klasik, yang berkembang pesat pada masa dinasti Umayah dan Abbasiyah.
Melihat sejarah kemunculannya, secara umum aliran-aliran teologi Islam klasik dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, aliran yang muncul karena persoalan politik, yaitu aliran Khawarij, Syiah dan Murji’ah. Kedua, aliran yang muncul akibat pengaruh ajaran dari luar Islam yakni aliran Jabariyah dan Qodariyah. Ketiga, aliran yang terbentuk karena mengadopsi aliran-aliran yang sudah ada, yakni Mu’tazilah.

Pengelompokkan ini hanya berdasarkan sejarah kemunculannya saja, bukan berdasarkan ajaran masing-masing. Karena, besar kemungkinan terbentuknya ajaran-ajaran dalam aliran-aliran tersebut tidak hanya berasal dari satu faktor semata. Besar kemungkinan juga perpaduan dari beberapa factor. Sebagai contoh, aliran Syi’ah terbentuk oleh persoalan politik yang melingkupi umat Islam waktu itu, namun dalam banyak hal aliran ini banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran agama Yahudi.
Mua’tazilah berasal dari kata I’tazala yang artinya berpisah atau memisahkan diri. Juga dapat pula diartikan “menjauh” atau “menjauhkan diri”. Mengikuti makna ini maka Mu’tazilah merupakan golongan Islam yang menjauhkan atau memisahkan diri dari mayoritas umat Islam. Mu’tazilah dalam pengertian pertama, mengambil dari peristiwa Washil bin Atha’ (w. 131 H). pendiri aliran ini yang memisahkan diri dari gurunya seorang tokoh tabi’in Hasan al-Bashri.
Ada beberapa versi tentang awal kemunculan aliran ini. Dari semua versi yang ada hanya membedakan masalah waktu kemunculannya atau tokoh yang mendirikannya saja. Yang jelas,  semua ulama ahlussunah wal jama’ah sepakat bahwa aliran ini adalah salah satu aliran yang menyimpang dari ajaran Islam, menyimpang dari jumhur ulama’, atau menjauhkan diri dari pemahaman mayoritas umat Islam. Nabi saw. bersabda:
“Barang siapa yang mengharapkan tempat yang lapang di surga  maka hendaknya ia menetap bersama al-Jama’ah.” (HR. at-Tirmidzi).
Nama “Mu’tazilah” hanyalah satu di antara beberapa nama bagi golongan yang mendewa-dewakan akal. Selain nama Mu’tazilah, mereka juga dikenal dengan nama ahlu al-adl atau golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan. Kaum Mu’tazilah juga sering menyebut diri mereka dengan “ahl al-‘Adl wa al-Tauhid”  atau golongan yang mempertahankan keesaan murni dan keadilan Tuhan. Mayoritas pengikut Mu’tazilah sendiri sebenarnya menolak disebut dengan nama Mu’tazilah. Mereka lebih suka disebut dengan Ahlu at-Tauhid wa al ‘Adl.
Mu’tazilah dikenal sebagai golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa aliran-aliran teologi lainnya. Mereka adalah kelompok yang membangun pemahamannya berdasarkan analisa akal, sehingga mereka dikenal dengan “kaum rasionalis Islam”. Mu’tazilah merupakan aliran teologi yang lebih mengutamakan akal daripada wahyu. Tatkala menemukan kontradiksi antara akal dengan Al-Qur’an dan hadis, mereka lebih mendahulukan akal. Artinya, mereka menolak penjelasan-penjelasan al-Qur’an dan sunnah jika bertentangan dengan akal. Jadi, akal merupakan hakim yang memutuskan segala sesuatu, tidak ada satu pun yang tidak dapat dinalar, termasuk perkara gaib sekalipun.
Seperti aliran teologi kebanyakan, aliran Mu’tazilah ini juga mengalami perpecahan. Secara umum Mu’tazilah, terbagi menjadi dua blok. Blok pertama berada di Bashrah yang dipimpin oleh Washil ibn Atha’ dan ‘Amr bin Ubaid beserta murid-muridnya. Kemudian, pada abad ke-3 H, kelompok ini dipimpin oleh Hudzail al-‘Allaf (235 H), Ibrahim as-Sayyar an-Nazham (221 H), Abu Basyar al-Marisi (218 H) dan yang lainnya.
Sementara kelompok kedua berada di Baghdad yang dipelopori Basyar bin al-Mu’tamar, Abu Musa al-Mudhar, Ahmad Abi Daud (W. 240 H). mereka mendapat dukungan besar dari bani Umayah dan Absasiyah. Banyak khalifah-khalifah yang menganut paham ini. Antara lain, Yazid bin Malik, Marwan bin Muhammad (Umayah), al-Ma’mun bin Harun ar-Rasyid, al-Mu’tashim bin Harun ar-Rasyid, al-Watsiq bin al-Mu’tashim.
Dr. Mushtafa as-Siba’I dalam bukunya as-Sunah wa Makanuta min at-Tasyri’ berkata:
“Kelompok al-Qur’aniah pertama kali tumbuh dan berkembang di kalangan kelompok Mu’tazilah, karena kelompok Mu’tazilahlah yang memimpin peperangan terhadap sunnah pada masa-masa awal.”
Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Syeikh Muhammad al-Khudari Bek dalam bukunya Tarikh at-Tasyri’ al-Islami:
“Imam Syafi’I sangat keras menentang orang yang melawan sunnah, khususnya mereka yang berasal dari Basrah. Di basrahlah tempat tumbuh dan berkembangnya pemimpin Mu’tazilah dan juga kitab-kitab mereka. Mereka dikenal dengan penentangannya terhadap Ahli Hadits.”
Dr. Mushtafa as-Siba’I memperkuat apa yang dikatakan Imam asy-Syafi’I seperti terdapat dalam kitab pengantar kitabMukhtalaf al-Hadis karya Imam ibn Qutaibah mengenai pendapat para pimpinan Mu’tazilah tentang sunnah:
“Saya berpendapat bahwa semua itu benar. Saya telah menelaah salah satu manuskrip berjudul Qubul al-Akhbar wa Ma’rifah ar-Ruah yang ditulis oleh salah seorang penganut Mu’tazilah. Sungguh saya belum pernah menemukan ungkapan tersebut dalam hidup saya. Penulis buku ini mencela sahabat habis-habisan. Mereka menuduh para sahabat sebagai pendusta dan pelaku dosa besar. Manuskrip yang menghina sahabat dan tabi’in dengan mengatakan bahwa mereka tidak ada yang selamat satupun adalah manuskrip yang sangat jarang dan bisa dihitung dengan jari. Berdasarkan itu semua, saya berani mengatakan bahwa peperangan melawan sunnah pada awalnya dikobarkan oleh kaum Mu’tazilah.”
Peperangan melawan sunnah ini terus berlangsung sampai saat ini. Peperangan ini dikobarkan lagi oleh beberapa tokoh, seperti Syeikh Rasyid Ridha, Prof. Ahmad Amin, dan beberapa orientalis seperti Goldziher dan beberapa pemikir lain yang menisbahkan dirinya kepada Islam.
Seperti yang di jelaskan as-Siba’I di atas, para pengikut kelompok yang mengingkari sunnah menyebut diri mereka dengan kelompok al-Qur’aniyun, yang menganggap hanya al-Qur’an yang dapat menjadi pegangan atau hujjah, sedangkan sunnah tidak. Alasan mereka, karena al-Qur’an diturunkan untuk menjelaskan segala sesuatu dan tidak memerlukan sunnah.
Lanjut mereka, jika ada ketentuan hadits tentang hukum baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’an, maka itu tetap termasuk zhanni ats-tsubut dan tidak bisa disamakan dengan al-Qur’an. Di sini, sunnah yang zhanni ats-tsubutberhadapan dengan al-Qur’an yang qath’I ats-tsubut. Lalu zhanni ats-tsubut tidak bias mengalahkan qath’I ats-tsubut. Lalu jika sunnah ditempatkan sebagai penguat apa yang terdapat pada al-Qur’an, maka status sunnah adalah sebagai penjelas terhadap qath’I ats-tsubut. Siapa yang mengingkari qath’I ats-tsubut meskipun satu huruf ia dianggap kafir. Ketentuan ini tidak berlaku pada orang yang mengingkari sesuatu yang zhanni ats-tsubut
Kelompok ini mengingkari kekuatan hujjah hadits mutawatir. Karena hadits mutawatir tetap berstatus  zhanni ats-tsubut.
Namun terkadang kelompok ini menggunakan beberapa kejadian yang terkait dengan sunnah untuk menguatkan pendapat mereka. Mereka mengambil salah satu sanad lemah untuk memperkuat pendapatnya. Misalnya mereka berkata: “Umar bin al-Khattab melarang para sahabat untuk meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw. seandainya sunnah merupakan sumber yang utama, tidak mungkin ia melarang para sahabat untuk meriwayatkannya.”
Dalam hal ini, Umar ra. diikuti oleh sahabat Ali bin Abi Thalib krw. Ia juga menyumpah orang yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw. maksudnya, ini dilakukan untuk mengajarkan kepada mereka untuk berhati-hati, dan agar menghindari kebohongan terhadap atau atas nama Rasulullah saw.
Tindakan Umar ra. Dan Ali bin Abi Thalib krw. Diatas didasarkan pada hadits Nabi saw. berikut ini:
“Janganlah kalian menulis sesuatu dariku. Barang siapa yang telah menulisnya, maka hendaklah ia buang. Ceritakanlah saja apa-apa dariku. Tidak ada dosa di dalamnya.” (HR. Muslim).
Secara historis, pada periode-periode awal, memang ada kecenderungan minimalisasi periwayatan al-sunnah, khususnya sunnah qauliyyah. Selain memberikan penekanan pada eksistensi al-Qur’an sebagai sumber pegangan utama, faktor lain yang mendasarinya adalah kekhawatiran tersebarnya pendustaan terhadap ucapan beliau, Rasulullah saw., hal mana juga menjadi perhatian tersendiri dari beliau, hingga terlontar peringatan keras dari para pembuat kedustaan terhadap Rasul.
Namun demikian, larangan tersebut tidak dapat dipahami secara mutlak, karena bisa jadi larangan ini hanya beliau tujukan pada para penulis wahyu. Karena bila mereka turut menulis ucapan-ucapan beliau, bisa jadi akan terjadi pencampuradukan antara wahyu berupa al-Qur’an dan sunnah nabawiyah.
Ada beberapa argumen pembenar atas asumsi di atas. Di antaranya adalah hadits yang teriwayatkan dalam Musnad Ahmad, dari Abdullah bin Umar. Diceritakan bahwa ia pernah menulis setiap yang ia dengar dari Rasulullah saw. unutk dihafalkan. Kemudian orang Quraisy mencegahnya. Tatkala hal ini diadukan pada Rasulullah saw., beliau bersabda:
“Tulislah (apa yang engkau dengar dariku), demi Dzat yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, tidaklah keluar dariku kecuali kebenaran.” (HR. Ahmad).
Dari hadits ini dapat disimpulkan bahwa membukukan al-sunnah dan menggunakannya tidak dilarang oleh Rasulullah saw.
Mereka yang menentang, khususnya yang menentang para sahabat, dan umumnya para rawi hadits, yang dipimpin oleh Mu’tazilah dulu maupun sekarang, dan diikuti oleh mereka yang mengikuti hawa nafsu, adalah termasuk orang-orang yang menghina Abu Hurairah ra. dan menuduhnya mengada-ada dan menulis sendiri apa yang kemudian ia riwayatkan sebagai hadits. Padahal Allah telah membebaskan para sahabat Rasulullah saw. dari aib yang keji. Allah juga memelihara mereka agar tidak terjatuh pada perbuatan buruk dan menjadikannya sebagai ‘bintang’ yang dapat menjadi panduan arah. Allah swt. berfirman:
“Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), beserta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah pelindung semua orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imran: 68).
Allah swt. juga berfirman:
“Pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia.” (QS. At-Tahrim: 8).
Orang-orang yang menyaksikan turunnya al-Qur’an dan hidup bersama Rasulullah saw. tidak memiliki cela. Mencela salah seorang dari mereka berarti bertentangan dengan iman dan menghilangkan salah satu dari mereka adalah bentuk kemunafikan. Karena periode mereka adalah masa yang paling baik setelah Rasulullah saw., mereka tidak pernah berbicara menggunakan hawa nafsu.
Rasulullah saw. tidak mungkin memerintahkan sahabatnya untuk menyampaikan risalah dan menyuruh mereka yang hadir untuk memberitahukan mereka yang tidak hadir jika mereka semuanya bukan orang yang jujur. Seandainya mereka bukan orang jujur, niscaya itu akan merusak kejernihan risalah yang sampai pada hari ini.
Mengenai sahabat Umar ibn Khattab ra. Rasulullah saw. pernah bersabda:
 “Sesungguhnya  Allah swt. menganugerahkan kebenaran pada ucapan dan hati Umar.”
Nabi saw. juga bersabda:
 “Jika umat ini menjadi pembicara, maka Umar ra. termasuk di dalamnya.”
Imam Syafi’I pada catatan kaki kitabnya Jamma’ al-‘Ilm dengan tegas menolak pemikiran ingkar sunnah seperti di atas, seperti dikutip oleh as-Siba’I, sebagai berikut:
1.          Allah swt. mewajibkan kita mengikuti Rasul-Nya. Perintah ini berlaku umum bagi siapa saja yang ada pada masa itu dan siapa saja yang hidup setelahnya. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi mereka yang tidak pernah hidup bersama Rasulullah saw. selain mengikuti sunnahnya. Dengan begitu kita wajib mengikuti dan menerima sunnahnya. Alasannya jika ada sesuatu yang menjadi syarat sempurnanya suatu kewajiban dan tidak termasuk dalam rangkaian kewajiban tersebut, maka hukumnya menjadi wajib.
2.          Menerima sunnah bertujuan memahami hukum-hukum al-Qur’an. Masalah nasikh-mansukh tidak akan diketahui tanpa merujuk kepada sunnah.
3.          Ada ketentuan hukum yang memeberikan ketentuan khusus terhadap dalil-dalil qath’I dengan menggunakan dalil-dali zhanni. Seperti pada persaksian dengan dua orang saksi dalam kasus pembunuhan dan kasus harta, padahal ketentuan tentang menjaga harta dan darah telah ditetapkan dengan dua saksi. Ketentuan mengenai dua saksi ini adalah benar-benar zhanni.
4.          Meskipun dalam sunnah dimungkinkan ada unsur-unsur kesalahan, kebohongan, dan keraguan, namun kemungkinan ini tersebut terjadi sebelum dilakukan penguatan dari rawi-rawi yang adil, membandingkan riwayat rekannya. Dengan begitu, kemungkinan terjadinya perbedaan riwayat dengan al-Qur’an dan sunnah sangat kecil bahkan nihil.
TAKHRIJ HADIS
A.    Konsep Takhrijul Hadis
Takhrij menurut arti bahasa adalah:
اِجْتِمَاعُ اَمْرَيْنِ مُتَضَادَيْنِ فِى شَىْءٍ وَاحِدٍ
Artinya: “kumpulan dua perkara yang saling berlawanan dalam satu masalah”
Kata takhrij adalah bentuk imbuhan dari kata khuruj. Kata yang terakhir ini adalah bentuk derivatif dari kata kerja kharaja yang berarti keluar (kharaja min makanih). Dari kata kharaja dapat dibentuk kata akhraja, kharraja dan istakhraja. Kata akhrajaberarti mengeluarkan (abraza), kata kharraja mempunyai makna mendidik, melatih member warna dengan dua warna atau lebih dan lain-lain, dan juga kata istakhrajadiartikan mengeluarkan. Takhrij menurut istilah adalah,
اَلتَّخْرِيْجُ هُوَاَالدِّلاَ لَةُعَلَى مَوْضِعِ الْحَدِيْثِ فِى مَصَادِرِهِ الأَصْلِيَّةِالَّتِيْ أَخْرَجَتْهُ سَنَدُهُ بِبَيَانِ مَرَتَبَتِهِ عِنْدَالْحَاجَةِ
Takhrij adalah penunjukan terhadap tempat hadis di dalam sumber aslinya yang dijelaskan sanad dan martabatnya sesuai dengan keperluan.

Para muhaddisin mengartikan takhrij hadis sebagai berikut:
1.      Mengemukakan hadis pada orang banyak dengan menyebutkan para perawinya dalam sanad yang telah menyampaikan hadis itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh
2.      Ulama mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh para guru hadis, atau kitab lain yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayat sendiri, atau para gurunya, siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
3.      ‘mengeluarkan’, yaitu mengeluarkan hadis dari dalam skitab dan meriwayatkannya. Al-Sakhawy mengatakan dalam kitab Fathul Mughits sebagai berikut, “Takhrij adalah seorang muhadis mengeluarkan hadis-hadis dari dalam ajza’, al-masikhat, atau kitab-kitab lainnya. Kemudian, hadis tersebut disusun gurunya atau teman-temannya dan sebagainya, dan dibicarakan kemudian disandarkan kepada pengarang atau penyusun kitab itu. ”
4.      Dalalah, yaitu menunjukkan pada sumber hadis asli dan menyandarkan hadis tersebut pada kitab sumber asli dengan menyebutkan perawi penyusunnya.
5.      Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang asli, yakni kitab yang didalamnya dikemukakan secara lengkap dengan sanadnya masing-masing, lalu untuk kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas sanad hadis tersebut.
Dari sekian banyak pengertian takhrij di atas, yang dimaksud takhrij dalam hubungannya dengan kegiatan penelitian hadits lebih lanjut, maka takhrij berarti “penelusuran atau pencarian hadits pada berbagai kitab-kitab koleksi hadits sebagai sumber asli dari hadits yang bersangkutan, yang di dalam sumber tersebut dikemukakan secara lengkap matan dan mata rantai sanad yang bersangkutan.
B.     Urgensi Takhrijul Hadis 
Ilmu takhrij merupakan bagian dari ilmu agama yang harus mendapat perhatian serius karena didalamnya dibicarakan berbagai kaidah untuk mengetahui sumber hadis itu berasal. Disamping itu, didalamnya banya ditemukan kegunaan dan hasil yang diperoleh, khusunya dalam menentukan kualitas sanad hadis.
Urgensi takhrijul hadis adalah untuk mengetahui sumber asal hadis yang di takhrij.Tujuan lainnya adalah mengetahui di tolak atau diterimanya hadis-hadis tersebut. Dengan cara ini, kita akan mengetahui hadis-hadis yang pengutipannya memerhatikan kaidah-kaidah ulumul hadis yang berlaku sehingga hadis tersebut menjadi jelas, baik asal-usul maupun kualitasnya.
Adapun urgensi takhrij hadis ini antara lain:
1.      Dapat diketahui banyak sedikitnya jalur periwayatan suatu hadis yang menjadi topik kajian.
2.      Dapat diketahui kuat tidaknya periwayatan akan menambah kekuatan riwayat. Sebaliknya, tanpa dukungan periwayatan lain, kekuatan riwayat tidak bertambah.
3.      Dapat ditemukan status hadis Shahih li dzatih atau shahih li ghairih, hasan li dzatih, atau hasan li ghairih. Demikian akan dapat diketahui istilah hadis mutawatir, masyhur, aziz, dangharib-nya.
4.      Memberikan kemudahan bagi orang yang hendak mengamalkan setelah mengetahui bahwa hadis tersebut adalah makbul (dapat diterima). Sebaliknya, orang tidak akan mengamalkannya apabila mengetahui hadis tersebut mardud (ditolak).
5.      Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadis adalah benar-benar berasal dari Rasulullah SAW yang harus diikuti karena ada bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran hadis tersebut, baik dari segi sanad maupun matan.
C.    Metode-Metode Takhrijul Hadis Cara Konvensional
Secara garis besar ada dua cara dalam melakukan takhrij al-hadis, yaitu pertama, takhrij al-hadis dengan cara konvensional. Maksudnya adalah melakukan takhrij al-hadisdengan menggunakan kitab-kitab hadis. Kedua, takhrij al-hadis  dengan menggunakan perangkat komputer melalui bantuan CD-ROM dengan program aplikasi takhrij hadis. Dalam makalah ini penulis akan mencoba menjelaskan cara melakukan takhrij al-hadis beserta contoh-contohnya dengan cara konvensional.
Setidaknya ada lima metode yang dapat dipergunakan dalam kegiatan takhrij al-hadissecara konvensional. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya tersendiri, meski tujuan akhir takhrij dengan metode-metode itu tetap sama, yaitu menentukan letak suatu hadis dan menentukan kualitas hadis tersebut. Kelima metode itu adalah:
1.      Melalui pengetahuan tentang nama sahabat yang meriwayatkan.
Metode takhrij al-Hadis melalui pengetahuan tentang nama sahabat perawi hadis. Diantara kitab-kitab hadis sumber, banyak yang ditulis dengan mengikuti system pengelompokan hadis atas dasar nama sahabat yang meriwayatkannya. Mentakhrij hadis dengan kitab-kitab semacam ini mutlak diperlukan pengetahuan tentang nama sahabat perawi hadis itu. Ada tiga macam referensi yang dapat digunakan dalam menggunakan metode ini, yaitu:
a.       Kitab-kitab al-musnad
Kitab musnad adalah kitab yang disusun pengarangnya berdasar nama-nama sahabat atau kitab yang menghimpun hadis-hadis sahabat. Kitab musnad merupakan kitab-kitab hadis yang disusun berdasar urutan nama-nama rawi pertama dengan mengumpulkan hadis-hadis yang diriwayatkan satu kelompok. Kitab hadis yang menganut sitematika penyusunan diantaranya yang mendasarkan pada urutan al-fabetis, tetapi ada pula yang mendasarkan pada keutamaan, senioritas, kabilah, atau wilayah. Diantara kitab-kitab musnad adalah:
1)      Musnad Abi Bakr Abd Allah Ibn al-Zubair al-Humaidy (w. 219 H).
2)      Musnad Ahmad ibn HAnbal (w. 241 H)
3)      Musnad Abi Ishaq Ibrahim Ibn Nashr.
4)      Musnad Abi Dawud Sulaiman ibn Dawud at-Thayalisiy (w. 204 H).
5)      Musnad Asad ibn Musa al-Umawy.
6)      Musnad Abi Khaitsamah Zubair ibn Harb, dsb.

b.      Kitab-kitab al-mu’jam
 Kitab mujam adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan nama-nama (musnad) sahabat, guru-gurunya, negaranya atau yang lainnya berdasarkan urutan alfabetis. Diantara kitab mujam yang disusun berdasarkan nama sahabat ialah:
1)      Al-Mujam al-Kabir karya Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad al-Tabarani (w. 360 H).
2)      Al-Mujam al-Ausat karya Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad al-Tabarani (w. 360 H).
3)      Al-Mujam al-Sagir karya Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad al-Tabarani (w. 360 H).
4)      Mujam al-Sahabah karya Ahmad ibn Ali ibn Lafie al-Hamdani (w. 398 H).
5)      Mujam al-Sahabah karya Abu Yala Ahmad ibn Ali al-Mausili (w. 308 H).
c.       Kitab-kitab al-athraf/ Atraf
Kata Atraf adalah bentuk jamak dari kata: Tarf. Kata Tarful hadis berarti bagian dari matan hadis yang dapat menunjukkan keseluruhannya.
Diantara kitab-kitab al-Athraf yang penting adalah:
1)      Athraf as-Shahihain karangan Abu Mas’ud Ibrahim ibn Muhammad al-Dimasyqiy (w. 401 H).
2)      Al-Asyraf ‘ala Ma’rifati al-Asyraf karangan al-h’afidh Abu Qasim ‘All ibn Hasan yang dikenal dengan Ibn ‘Asakir al-Dimasyqy (w. 671 H).
3)      Tuhfat al-Asyraf bi Ma’rifati al-Asyraf atau Athraf al-Kittub as Sittahkarangan Abu al-Hajjaj Yususf Abd al-Rahman al-Mizsy (w. 742 H).

Kelebihan-kelebihan metode ini:
1)      Dapat diketahui dengan cepat semua hadis yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu dengan sanad dan matannya secara lengkap.
2)      Diketemukan banyak jalan untuk matan yang sama.
3)      Memudahkan untuk menghapal dan mengingat hadis tertentu yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu
Kekurangan-kekurangan metode ini:
1)      Untuk menemukan hadis tertentu yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu membutuhkan waktu yang relatif lama, sebab pada umumnya sahabat tidak hanya meriwayatkan satu dua hadis saja.
2)      Metode ini tidak bisa digunakan jika nama sahabat yang meriwayatkannya tidak diketahui.
2.      Mengetahui tentang lafal pertama hadis.
Metode takhrij melalui pengetahuan tentang lafal pertama hadis. Teknik ini dipakai apabila permulaan lafal hadis dapat diketahui dengan cepat. Tanpa mengetahui lafal pertama hadis yang dimaksud teknik ini sama sekali  tidak dapat digunakan. Jenis-jenis kitab yang dapat digunakan dengan metode ini dapat diklasifikasikan menjadi:
a.       Kitab-kitab hadis yang popular di masyarakat, seperti kitab at-Tazkirah fi al-Ahaditz al-Musytahirah karangan Badruddin Muhammad ibn Abd Allah as-Zarkasyi. Kitab jenis ini tentu saja terbatas hadis-hadisnya karena dikhususkan pada hadis-hadis yang populer dimasyarakat.
b.      Kitab-kitab hadis yang hadis-hadisnya disusun secara alfabetis. Kitab jenis ini yang paling banyak beredar adalah karangan Suyuthy (w. 911 H), yang berjudul al-Jami’ash-Shagir min Ahadis al-Basyir an-Nazir.
c.       Kunci-kunci dan indeks yang dibuat untuk kitab-kitab tertentu. Beberapa ulama telah membuat kunci-kunci daftar atau indeks bagi kitab-kitab hadis tertentu dengan tujuan mempermudah mencari hadis tertentu dalam kitab tersebut.
 Kunci-kunci daftar atau indeks (kamus) yang disusun pengarangnya untuk kitab tertentu, diantaranya:
a.       Untuk Shahih al-Bakhari, yaitu Hady al-Bari ila Tartib Ahadis al-Bukhari.
b.      Untuk Sahih Muslim, yaitu mujam al-Alfaz wa la Siyyama al-Garib minha.
c.       Untuk al-Muwatta’, yaitu Miftah al-Muwatta.
d.      Untuk Sunan Ibn Majah, yaitu Miftah Sunan Ibn Majah, dsb.
Kelebihan dan kekurangan metode ini adalah dengan metode ini kemungkinan besar kita dengan cepat menemukan hadis-hadis yang dimaksud, sebab dengan mengetahui satu lafal saja kita dapat menelusuri hadis pada sumber aslinya, tetapi jika terjadi perbedaan lafal pertama meski hanya sedikit saja, akan berakibat sulit menemukan hadis.
3.      Mengetahui tentang salah satu lafal hadis (dalam tulisan ini akan dibahas lebih rinci).
Dengan mengetahui sebagian lafal hadis, baik di awal, tengah maupun akhir matannya, kitab-kitab yang diperlukan atau referensi yang paling representative untuk metode ini yaitu kitab karya Arnold John Wensinck dengan judul al-Mu jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadis al-Nawawi, dengan penerjemah Muhammad Fuad Abd al-Baqi. Kitab ini merupakan kitab kamus dari 9 kitab hadis, yakni sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasai,Sunan Ibn Majah, Sunan al-Darimi, al-Muwatta Imam Malik, danMusnad Ahmad ibn Hambal.
Untuk Musnad Ahmad (حم) hanya disebutkan juz serta halamannya; Sahih Muslim (م) danal-Muwatta (ط) nama bab dan nomor urut hadis, sedangkan Sahih al-Bukhari (خ), Sunan Abi Dawud (د), Sunan al-Tirmizi (ت), Sunan al-Nasai (ن) serta Sunan Ibn Majah (جه), Sunan al-Darimi (دى) disebutkan nama bab serta nomor urut babnya.
Kelebihan metode ini:
a.       Memungkinkan pencarian hadis melalui kata apa saja yang terdapat dalam matan hadis.
b.      Mempercepat pencarian hadis, karena kitab takhrij ini menunjuk kepada kitab-kitab induk dengan menunjukkan kitab, nomor bab, atau nomor hadis, nomor juz, dan bahkan nomor halaman.
Kekurangan metode ini:
a.       Adanya keharusan memiliki kemampuan bahasa arab dan perangkat ilmu yang memadai, sebab metode ini menuntut untuk mengembalikan setiap kata kuncinya kepada kata dasarnya.
b.      Hanya merujuk kepada Sembilan kitab tertentu, sehingga bila lafaz hadis yang diketahui tidak diambil dari kitab-kitab tersebut maka hadis tersebut tidak ditemukan.
c.       Metode ini tidak menyebutkan perawi dari kalangan sahabat. Untuk mengetahui perawi yang menerima hadis dari Nabi kita harus kembali kepada kitab aslinya.
4.      Mengetahui tentang tema hadis.
Takhrij melalui pengetahuan tentang tema hadis. Teknik ini akan mudah digunakan oleh orang sudah bisaa dan ahli dalam hadis karena yang dituntut dalam teknik ini  adalah kemampuan menentukan tema atau salah satu tema dari suatu hadis. Dalam mentakhrij dengan metode ini diperlukan kitab-kitab hadis yang tersusun berdasar pada bab-bab dan topik-topik. Kitab ini banyak sekali dan dapat dibagi tiga kelompok:
a.       Kitab-kitab yang berisi seluruh tema agama, yaitu kitab-kitab al-Jawawi’ berikut dengan mustakhraj dan mustadraknya, al-majani’,al-zawaid, dan secara khusus kitab Miftah Kunuz as-Sunah.
b.      Kitab-kitab yang berisi sebagian banyak tema-tema agama, yaitu kitab-kitab sunan, mushannaf, muwathta’, dan mustakhraj atas sunan.
c.       Kitab-kitab yang berisi satu aspek saja dari tema agama, yaitu kitab-kitab yang khusus tentang hukum saja, tentang mengangkat tangan saja, dan lain-lain. Kitab-kitab ini bisaanya merupakan kitab-kitab juzu’, targhib dan tarhib, ahkam, zuhud, fadha’il, adab, dan akhlaq dan tema-tema khusus lainnya.
Kelebihan metode ini:
a.       Dapat ditemukan banyak hadis dalam satu tema tertentu terkumpul pada satu tempat.
b.      Metode ini mendidik ketajaman pemahaman hadis kepada peneliti. Dengan menggunakan metode ini beberapa kali seorang peneliti akan memiliki tambahan pengetahuan tentang fiqh al-hadis.
c.       Metode ini tidak memerlukan pengetahuan di luar hadis, seperti keabsahan lafal pertama, pengetahuan bahasa arab dan perubahan-perubahannya, dan pengenal perawi pertama.
Kekurangan-kekurangannya:
a.       Terkadang hadis sulit disimpulkan oleh peneliti sehingga tidak dapat menentukan temannya. Akibatnya ia tidak mungkin memfungsikan metode ini.
b.      Terkadang pemahaman peneliti tidak sama dengan pemahaman penyusun kitab. Akibatnya ialah penyusun kitab meletakan hadis pada posisi yang tidak diduga oleh peneliti tersebut.
5.      Melalui pengetahuan tentang sifat khusus (karakteristik) sanad atau matan hadis.
Metode kelima dalam menelusuri hadis ialah dengan mengamati secara mendalam sanad dan matan hadis, yaitu dengan melihat petunjuk dari sanad, matan atau sanad dan matn-nya secara bersamaan. Petunjuk dari matn, misalnya ada kerusakan makna hadis, menyelisihi al-Qur’an ataupun petunjuk bahwa hadis itu palus ataupun yang lainnya. Adapun kitab-kitab yang bisa menjadi rujukan adalah:
a.       Al-Maudu at al-Sugra, karya Ali al-Qari (w. 1014 H).
b.      Tanzih al-Syariah al-Marfuah an al-Ahadis al-Syaniah al-Mauduah, karya al-Kinani (w.963 H)
Petunjuk yang lain dari matn yaitu bila diketahui matn hadis tersebut merupakan hadis qudsi. Kitab yang bisa dijadikan rujukan dalam hal ini adalah:
a.       Misykah al-Anwar, karya Muhy al-Din Muhammad ibn Ali ibn Arabi al-Khatimi (w. 638 H).
b.      Al-Ittihafat al-Saniyyah bi al-Ahadis al-Qudsiyyah, karya Abd al-Rauf al-Munawi (w. 1031 H).
Petunjuk dari sanad, misalnya sanad yang rawinya meriwayatkan hadis dari anaknya. Kitab yang menjadi rujukan misalnya Riwayah al-Aba ‘an al-Aba karya Abu Bakr Ahmad ibn Ali al-Bagdadi. Keadaan sanad hadis yang musalsal dengan kitab rujukan al-Musalsalah al-Kubrakarya al-Suyuti, ataupun keadaan sanadnya yang mursal dengan kitab rujukan al-Marasilkarya Abu Dawud al-Sijistani dan karya al-Razi.
Petunjuk dari sanad dan matan secara bersamaan. Kitab yang bisa dijadikan rujukan adalah:
a.       Ilal al-Hadis karya Ibn Abi Hatim al-Razi.
b.      Al-Asma al-Mubhamah fi al-Anba al-Muhkamah, karya al-Khatib al-Baghdadi.
c.       Al-Mustafad min Mubhamat al-Matn wa al-Isnad, karya Abu Zurah Ahmad ibn Abd al-Rahim al-Iraqi.
Kelebihan dari metode ini adalah pada umumnya kitab-kitab hadis yang dapat dijadikan rujukan dengan metode ini memuat penjelasan-penjelasan tambahan dari penyusunnya. Adapun bahwa kekurangan dari metode ini memerlukan pengetahuan yang mendalam tentang keadaan sanad dan matan hadis yang di takhrij, disamping itu kitab-kitab rujukan metode ini pada umumnya memuat hadis yang jumlahnya sangat terbatas.
D.    Contoh Takhrijul Hadis
Contoh I: hadis tentang “syafaat nabi saw bagi orang yang berdosa besar”, bunyi teks hadisnya adalah:
قاَلَ رَسُوْ لُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَفَاعَتِي لِأَهْلِ الْكَبَائِرِمِنْ أُمَّتِي
“Rasulullah bersabda: syafaatku bagi orang-orang yang berdosa besar dari umatku”.

Setelah dilakukan kegiatan takhrij al-hadi, hadis di atas bersumber dari:
1.      Al-Tirmizi, kitab Sifah al-Qiyamah wa al-Raqaiq wa al-Wara an Rasulillah, no hadis. 2360 dan 2359:
حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ الْعَنْبَرِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَفَاعَتِي لِأَهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ أُمَّتِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَفِي الْبَاب عَنْ جَابِ

Telah menceritakan kepada kami Al-Abbas Al-Ambari telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq dari Ma’mar dari Tsabit dari Anas berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Syafaatku untuk pemilik dosa-dosa besar dari ummatku”. Berkata Abu Isa, hadis ini hasan shahih gharib melalui sanad ini dan dalam hal ini ada hadis serupa dari Jabir.
(HR. Al-Tarmizi: No. 2360).

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَفَاعَتِي لِأَهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ أُمَّتِي
قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ فَقَالَ لِي جَابِرٌ يَا مُحَمَّدُ مَنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ أَهْلِ الْكَبَائِرِ فَمَا لَهُ وَلِلشَّفَاعَةِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ يُسْتَغْرَبُ مِنْ حَدِيثِ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Abu Daud Ath Thayalisi dari Muhammad bin Tsabit Al-Bunani dari Ja’far bin Muhammad dari Bapaknya dari Jabir bin Abdullah berkata: Rasulullah SAW bersabda: “syafaatku untuk ummat ku yang berbuat dosa-dosa besar”. Muhammad bin Ali berkata: kemudian Jabir berkata kepadaku: wahai Muhammad yang tidak melakukan dosa besar tidak lagi membutuhkan syafaat Abu Isa Berkata, hadis ini hasan gahrib dari jalur sanad ini dan dianggap gharib dari hadis Ja’far bin Muhammad. (HR. Al-Tarmizi: No. 2359).
2.      Ibn Majah, kitab al-Zuhd, no. hadis 3112
حدثنا عبد الرحمن بن إبراهيم الدمشقي . ثنا الوليد بن مسلم . ثنا زهير بن محمد عن جعفر بن محمد عن أبيه عن جابر قال سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ( إن شفاعتييوءم القيامة لأهل الكبائر من أمتي ) . قال الشيخ الألباني : صح

Abdul Rahman bin Ibrahim Damaskus. Sunan Walid bin Muslim. Tna Zuhairbin Mohammed Jaafar bin Muhammad dari ayahnya dari Jabir berkata:mendengar Rasulullah dan saw mengatakan: sesungguhnya syafa’atku pada hari kiamat adalah untuk para pelaku dosa besar dari ummat kuSyaikh al-Albanimengatakan: Hadis ini Shahih
3.      Abu Dawud, kitab al-Sunnah, no. hadis 4739.
حدثنا سليمان بن حرب ثنا بسطام بن حريث عن أشعث الحداني عن أنس بن مالك : عن النبي صلى الله عليه و سلم قال " شفاعتي لأهل الكبائر من أمتي " .قال الشيخ الألباني : صحيح
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb berkata, telah menceritakan kepada kami Bastham bin Huraits dari Asy’ats Al Huddani dari Anas bin Malik dari Nabi SAW, beliau bersabda: “syafaatku berlaku” untuk pelaku dosa besar dari ummat ku. Berkata Syaikh Al-Bani, hadis ini shahih.
4.      Ahmad ibn hanbal, bab Baqi Musnad al-Muksiri, no. hadis 13245.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا سليمان بن حرب ثنا بسطام بن حريث عن أشعث الحراني عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : شفاعتي لأهل الكبائر من أمتي تعليق شعيب الأرنؤوط : إسناده صحيحTelah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb, telah menceritakan kepada kami Bistham bin Huraits, dari Asy'asy Al-Harrani, dari Anas bin Malik berkata, Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda, "Syafaatku adalah untuk pelaku dosa besar dari umatku". Syaikh Arna’oot mengatakan hadis ini sanadnya Shahih.

Contoh II: Hadis tentang menuntut ilmu.
عن أنس بن مالك قال: قال رسول الله ص س. طلب العلم فريضة على كل مسلم وواضع العلم عند غير أهله كمقلد الخنازير الجوهر واللؤلؤ والذهب (رواه ابن ماجه)
Setelah dilakukan kegiatan takhrij al-hadi, hadis di atas bersumber dari:
1.      Kitab Ibnu Majah, Juz 1, halaman. 260
2.      Kitab At-Thobari, Juz 1 halaman 12, Juz 5 halaman 41, Juz 64 halaman 5, Juz 13 halaman 6.
3.      Kitab Abu Hanifah, Juz 3, halaman. 454
4.      Shahih Tarhib wa Tarhib, Juz. 1, halaman. 13.


Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking