KATA PENGANTAR
Segenap puji kami ucapkan kepada Allah SWT. Yang telah
memberikan karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
dengan tema ijtihad sebagai tugas mata kuliah ilmu fiqih, Untaian-untaian
sholawat serta salam kami limpahkan keharibaan nabi
besar Muhammad SAW. Yang mana berkat perjuangan beliaulah sehingga alam ini
menjadi tentram, aman, dan sejahtera.
Ucapkan terima kasih kami haturkan kepada semua pihak yang telah memberikan
bimbingan dan bantuan terbentuknya makalah ini, sebagai manusia biasa yang tak
luput dari kesalahan tentunya makalah yang kami buat ini jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saranya sangat kami harapkan guna
utnuk menyempurnakan makalah yang kami susun selanjutnya, semoga makalah ini
bisa menjadi media untuk menambah wawasan pembacanya,amin ya rabbal alamin
Samata, 12 Desember 2012
Penulis
DAFTAR ISI
B A B I
P E N D A H U L U A N
Islam sebagai agama yang berlaku abadi dan berlaku untuk
seluruh umat manusia mempunyai sumber yang lengkap pula. Sebagaimana diuraikan
di awal bahwa sumber ajaran islam adalah Al-Qur”an dan Sunnah yang sangat
lengkap.
Seperti diketahui bahwa Al-Qur’an adalah merupakan sumber
ajaran yang bersifat pedoman pokok dan global, sedangkan penjelasannya banyak
diterangkan dan dilengkapi oleh Sunnah secara komprehensif, memerlukan
penelaahan dan pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh serta berkesinambungan.
Para ulama bersepakat tentang pengertian ijtihad secara
bahasa berbeda pandangan, mengenai pengertiannya secara istilah muncul
belakangan, yaitu pada massa tasyri dan massa sahabat. Ijtihad mempunyai
definisi dan mempunyai landasan serta dasar-dasar dan mempunyai hukum dan
mempunyai unsur-unsur.
Dilihat dari fungsinya ijtihad berperan sebagai penyalur
kretifitas pribadi atau kelompok dalam merespon peristiwa yang dihadapi sesuai
dengan pengalaman mereka.
Ijtihad juga berperan sebagai interpreter terhadap
dalil-dalil yang zhanni al-wurud atau zhanni ad-dalalah.
Ijtihad diperlukan untuk menumbuhkan ruh islam dan
berperan sebagai penyalur kretifitas pribadi.
A. LATAR BELAKANG
Mengingat pentingnya dalam syari’at
Islam yang disampaikan dalam Al-Qur’an dan Assunah, secara komprehensif karena
memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh serta
berkesinambungan.
Oleh karena itu diperlukan
penyelesaian secara sungguh-sungguh atas persoalan-persoalan yang tidak
ditunjukan secara tegas oleh nas itu.Maka untuk itu ijtihad menjadi sangat
penting.Kata ijtihad terdapat dalam sabda Nabi yang artinya “pada waktu sujud”
bersungguh-sungguh dalam berdo’a.
Dan ijtihad tidak membatasi bidang
fikih saja dan banyak para pendapat ulama mempersamakan ijtihad dengan
qiyas.Adapun dasar hukum itu sendiri adalah Al-Qur’an dan Assunah.
Maka dari itu karena banyak
persoalan di atas, kita sebagai umat Islam dituntut untuk keluar dari kemelut
itu yaitu dengan cara melaksanakan ijtihad.
A. PERMASALAHAN
Dalam makalah
ini akan membahas mengenai ijtihad, dengan sub tema :
1.
Pengertian ijtihad
2.
Hukum
ijtihad
3.
Kedudukan dan fungsi
4.
Objek
ijtihad
5.
Macam-macam
ijtihad
6.
Syarat-syarat
mujtahid
7.
Tingkaatn mujtahid
8.
Contoh
iijtihad
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN IJTIHAD
Ijtihad (Arab: اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh,
yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari
ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun
hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.Namun pada
perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan
para ahli agama Islam.
Adapula ulama yang merumuskan pengertian
Ijtihad adalah Mencurahkan segala tenaga (fikiran) untuk menemukan hukum agama
(syara’).melalui salah satu dalili syara’ dengan cara tertentu. Menurut Abu
Zahrah, Ijtihad bermakna Pwengerahan kemampuan seorang ahli fiqh akan upaya
kemampuannya dalam upaya mengistinbathkan hokum yang berhubungan dengan amal
perbuatan dari satu persatu dalilnya. Bila penelusuran itu tanpa diiringi oleh
dalil syara’ maka itu bukanlah suatu ijtihad. Ulama-ulama terdahulu bila
memecahkan suatu pokok permasalaah yang tidak mendapatkan rujukan dalam
Al-Qur’an ataupun Asunnah, maka mereka akan menggunkan ijtihad dengan metode
yang berbeda, ada yang menggunkaan qiyas atau istihsan, maslahah mursalah. Akan
tetapi para ulama memandang ijtihad dan qiyas ada yang berpendapat bahwa
ijtihad lebih luas dari pada qiyas, setiap ada qiyas tentu terdapat ijtihad,
tetapi belum tentu setiap ada ijtihad terdapat qiyas.Berbeda dengan pendapat
Imanm syafi’I yang mengatakan bahwa keduanya tidak terdapat perbedaan yang
signifikan.
Menurut Abu Zahrah secara istilah arti ijtihad adalah:
بذل الفقيه وسعة فى استنباط الاحكام العملية من ادلتها
التفصلية
”Upaya seseorang ahli fiqih dengan kemamapuannya dalam
mewujudkan hukum-hukum amalaiah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci”.
Menurut Al-Amidi yang dikutip oleh Wahbah Al-Zuhaili
(1978-480) Ijtihad adalah:
استفرغ الوسع فى طلب الظن من الاحكام الشرعية
“Pengerahan segala kemampuan untuk menentukakn sesuatu
yang zhoni dari hukum-hukum syara’ ”.
B. HUKUM IJTIHAD
Ulama berendapat, jika seorang muslim dihadapkan kepada
suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum
Syara’, maka hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib ‘ain, wajib kifayat,
sunnat atau haram, tergantung pada kapasitas orang tersebut.
Pertama, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria
mujtahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia
khawatir peristiwa itu akasn hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya maka
hukum ijtihad menjadi wajib ‘ain.
Kedua, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mutahid
yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi maka hukum ijtihad
menjadi wajib kifayat. Artinya, jika semua mujtahid tidak ada yang melakukan
ijtihad atas kasus tersebut, maka semuanya berdosa. Sebaliknya jika salah
seorang dari mereka melakukan ijtihad atas kasus tersebut maka yang lainnya
tidak berdosa.
Ketiga, hukum berijtihad menjadi sunnat jika dilakuakn
atas persoalan atau kejadian yang tidak atau belum terjadi.
Keempat, hukum ijtihad menjadi haram jika dilakukan atas
peristiwa yasng sudah jelas hukumnya secara qath’i, baik dalam Al-Qur’an maupun
Sunnah, atau ijtihad atas peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan secara
ijma’. (Wahbah Al Juhaili 1978:498-9 dan Muhaimin dkk, 1994:189).
C. KEDUDUKAN DAN FUNGSI
1. KEDUDUKAN
Ijtihad diberlakukan dalam berbagai
bidang, yakni mencakup akidah, mu’amalah (fiqih), dan falsafat.Akan tetapi,
yang menjadi permasalahan di sini adalah mengenai kedudukan hasil
ijtihad.Persoalan tersebut berawal dari pandangan mereka tentang ruang lingkup
qath’i tidaknya suatu dalil.Ulama ushul memandang dalil-dalil yang berkaitan
dengan akidah termasuk dalil qath’i, sehingga dibidang ini tidak dilakukan
ijtihad.Mereka mengatakan bahwa kebenaran mujtahid di bidang ilmu kalam hanya
satu.Sebaliknya, golongan mutakalimin memandang bahwa di bidang ilmu kalam itu
terdapat hal-hal yang zhaniyat, karena ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan
dengan persoalan tersebut adalah ayat-ayat mutasyabihat.Oleh karena itu, dalam
menyelesaikan persoalan tersebut diperlukan ijtihad. Bahkan, mereka menyatakan
bahwa setiap mujtahid itu benar; kalaupun melakukan kekeliruan, ia tetap
mendapatkan pahala. Namun, pendapat tersebut ditolak oleh ulama ushul.Sekalipun
sama-sama menyatakan bahwa setiap mujtahid itu benar, namun kebenaran disini
terbatas dalam bidang fiqih.
Menurut Harun Nasution, arti
ijtihad seperti yang telah dikemukakan di atas adalah ijtihad dalam arti
sempit. Dalam arti luas menurutnya, ijtihad juga berlaku pada bidang politik,
akidah, tasawuf, dan falsafah.
Telah kita ketahui bahwa ijtihad telah berkembang sejak zaman Rasul. Sepanjang fiqih mengandung “pengertian tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf”, maka ijtihad akan terus berkembang. Perkembangan itu berkaitan dengan perbuatan manusia yang selalu berubah-ubah, baik bentuk maupun macamnya.Dalam hubungan inilah, asy-Syahrastani mengatakan bahwa kejadian-kejadian, dan kasus-kasus dalam peribadatan dan muamalah (tindakan manusia) termasuk yang tidak dapat dihitung.Secara pasti dapat diketahui bahwa tidak setiap kasus ada nashnya.Apabila nashnya sudah berakhir, sedangkan kejadian-kejadiannya berlangsung terus tanpa terbatas; dan tatkala sesuatu yang terbatas tidak mungkin dapat mengikuti sesuatu yang tidak terbatas, maka qiyas wajib dipakai sehingga setiap kasus ada ijtihad mengenainya.
Dalam masalah fiqh, ijtihad bi ar-rayu telah ada sejak zaman Rasulullah saw. Beliau sendiri memberi izin kepada Mu’adz ibnu Jabal untuk ber-ijtihad ketika Muads diutus ke Yaman. Umar ibnu al Khatthab sering menggunakan ijtihad bi al ra’yu apabila ia tidak menemukan ketentuan hukum dalam Al-Qur’an dan as sunnah. Demikian pula para sahabat lainnya dan para tabi’in sehingga pada perkembangan selanjutnya muncul dua golongan yang dikenal dengan golongan ahl ar-ra’yu sebagai bandingan golongan ahli hadis.Umar Ibnu Khatthab dipandang sebagai pemuka ahl ra-ra’yu.
Setelah Rasulullah wafat dan meninggalkan risalah Islamiyyah yang sempurna, kewajiban berdakwah berpindah pada sahabat.Mereka melaksanakan kewajiban itu dengan memperluas wilayah kekuasaan Islam dengan berbagai peperangan.Mereka berhasil menaklukan Persia, Syam, Mesir, dan Afrika Utara.Akibat perluasan wilayah itu, terjadilah akulturasi bangsa dan kebudayaan sehingga muncul berbagai masalah baru yang memerlukan pemecahan. Keadaan seperti itu mendo Berbeda dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagi berikut :
Telah kita ketahui bahwa ijtihad telah berkembang sejak zaman Rasul. Sepanjang fiqih mengandung “pengertian tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf”, maka ijtihad akan terus berkembang. Perkembangan itu berkaitan dengan perbuatan manusia yang selalu berubah-ubah, baik bentuk maupun macamnya.Dalam hubungan inilah, asy-Syahrastani mengatakan bahwa kejadian-kejadian, dan kasus-kasus dalam peribadatan dan muamalah (tindakan manusia) termasuk yang tidak dapat dihitung.Secara pasti dapat diketahui bahwa tidak setiap kasus ada nashnya.Apabila nashnya sudah berakhir, sedangkan kejadian-kejadiannya berlangsung terus tanpa terbatas; dan tatkala sesuatu yang terbatas tidak mungkin dapat mengikuti sesuatu yang tidak terbatas, maka qiyas wajib dipakai sehingga setiap kasus ada ijtihad mengenainya.
Dalam masalah fiqh, ijtihad bi ar-rayu telah ada sejak zaman Rasulullah saw. Beliau sendiri memberi izin kepada Mu’adz ibnu Jabal untuk ber-ijtihad ketika Muads diutus ke Yaman. Umar ibnu al Khatthab sering menggunakan ijtihad bi al ra’yu apabila ia tidak menemukan ketentuan hukum dalam Al-Qur’an dan as sunnah. Demikian pula para sahabat lainnya dan para tabi’in sehingga pada perkembangan selanjutnya muncul dua golongan yang dikenal dengan golongan ahl ar-ra’yu sebagai bandingan golongan ahli hadis.Umar Ibnu Khatthab dipandang sebagai pemuka ahl ra-ra’yu.
Setelah Rasulullah wafat dan meninggalkan risalah Islamiyyah yang sempurna, kewajiban berdakwah berpindah pada sahabat.Mereka melaksanakan kewajiban itu dengan memperluas wilayah kekuasaan Islam dengan berbagai peperangan.Mereka berhasil menaklukan Persia, Syam, Mesir, dan Afrika Utara.Akibat perluasan wilayah itu, terjadilah akulturasi bangsa dan kebudayaan sehingga muncul berbagai masalah baru yang memerlukan pemecahan. Keadaan seperti itu mendo Berbeda dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagi berikut :
a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh
ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolut. Sebab ijtihad
merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif.Sebagai produk pikiran
manusia yang relatif maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah relatif.
b. Sesuatu keputusan yang ditetapkan
oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi tidak berlaku bagi orang
lain. Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak berlaku pada masa / tempat
yang lain.
c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan
penambahan ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah
dan Rasulullah.
d. Keputusan ijtihad tidak boleh
bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.
e. Dalam proses berijtihad hendaknya
dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan
bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa daripada ajaran Islam.
2. FUNGSI
Meski
Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal
dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist.
Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan
modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan
aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama
sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan
umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka
persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan
jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist.Sekiranya sudah ada maka
persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan
dalam Al Quran atau Al Hadits itu.Namun jika persoalan tersebut merupakan
perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al
Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi
yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan
Al Hadist
D. OBJEK IJTIHAD
Wilayah ijtihad atau majal al ijtihad adalah masalah yang
diperbolehkan penetapan hukumnya dengan cara ijtihad itu.
Adapun hukum yang diketahui dari agama secara dharudoh
dan bid’ah (pasti benar berdasarkan pertimbangan akal). Dalil qoth’i al subut
wal dalalah tidaklah termasuk lapangan ijtihad, persoalan-persoalan yang
tergolong ma’ulima min ad din bi ‘al dhoruroh diantaranya kewajiban shalat lima
waktu, puasa pada bulan Ramadhan.
Secara lebih jelas, Wahbah az zuhaili
(1978:497) menjelaskan bahwa lapangan ijtihat itu ada dua. Pertama, sesuatu
yang tidak dijelaskan samasekali oleh Allah dan Nabi dalam Al-Qur’an dan Sunnah
(ma la nasha fi ashlain). Kedua, sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil
zhanni Ats-Tsubut wa Al-Adalah atau salah satunya (Zhanni Ats Tsubut atau
Zhanni Al Adala
permasalahan yang tidak ada nash-nya, maka yang menjadi lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan, mashalah murshalah, dan lain-lain. Namun permasalahan ini banyak diperdebatkan dikalangan para ulama.
permasalahan yang tidak ada nash-nya, maka yang menjadi lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan, mashalah murshalah, dan lain-lain. Namun permasalahan ini banyak diperdebatkan dikalangan para ulama.
E. MACAM-MACAM IJTIHAD
Ijtihad
dilihat dari aspek dalil yang dijadikan pedoman:.
1.
Ijtihad
Bayani yaitu Ijtihad yang digunakan untuk menemukan hukum yang terkandung dalam
Nash Al-qur'an, namun sifatnya dhanni.
2.
Ijtihad
Qiyas, Qiyas menyamakan suatu kejiadian yang tidak ada nashnya dengan kejadian
yang lain yang ada nash nya dengan meliaht illatnya
3.
Ijtihad
istilahi Ijtihad dilihat dari aspek pelaksananya :
a.
Ijtihad
Fardhi (individu)
b.
Ijtihad
jama'i (Kolektif) bukan berarti Ijma', karena dalam ijtihad kolektif ini bukan
hanya dilakukan oleh ulama yang telah memenuhi syarat untuk melakukan suatu
ijma'.
F. SYARAT-SYARAT MUJTAHID
Adapun
syarat-syarat ijtihad adalah:
1. MENGUASAI BAHASA ARAB
Di kalangan ulama ushul telah ada
kesepakatan tentang mutlaknya seorang mujtahid mengetahui (menguasai) bahasa
arab dengan berbagai aspeknya, seperti nahwu, sharaf, balaghah, dan lain-lain.
Persyaratan ini sangat penting karena orientasi pertama seorang mujtahid adalah
memahami nash-nash Alquran dan hadist yang notabene keduanya berbahasa arab.
Dalam masalah penguasaan bahasa
arab, al-Gazali memberikan batasan tentang kadar yang harus diketahui oleh
mujtahid, yakni mampu mengetahui khitab (pembicaraan) bangsa arab dan adat
kebiasaan mereka dalam mempergunakan bahasa arab.
2. MENGETAHUI NASH-NASH ALQURAN
Seorang mujtahid harus mengetahui
hukum-hukum syar’iyyah yang terdapat dalam Alquran dan ayat-ayat yang
menyebutkan hukum-hukum tersebut, serta cara-cara mengambil atau memetik hukum
itu dari ayatnya. Berdasarkan inilah mujtahid mengistimbatkan hukum.
Akan tetapi, apakah seorang mujtahid
harus hafal seluruh Alquran yang terdiri atas 30 juz dan 114 surat tersebut? Di
kalangan ahli ijtihad terdapat perbedaan pendapat tentang keharusan semacam
itu. Imam syafi’i, konon diberitakan sebagai salah satu ulama yang mensyaratkan
mujtahid harus hafal seluruh Alquran. Sebagian ulama lain tidak mensyaratkan
keharusan semacam itu, akan tetapi menganggap cukup hanya dengan mengetahui
ayat-ayat hukum sehingga kapan dan dimana perlu mujtahid dapat merujuk
kepadanya. Imam Gazali salah seorang dari kalangan madzab syafi’i yang tidak
mensyaratkan mujtahid harus hafal seluruh Alquran.
3. MENGETAHUI TENTANG SUNNAH
Seorang mujtahid harus mengetahui
hukum-hukum syara’ yang disebut oleh sunnah nabi, sekiranya mujtahid mampu
menghadirkan sunnah yang menyebutkan hukum pada tiap-tiap bab dari perbuatan
mukallaf, mengetahui peringkat sanadnya, dari segi keshahihanya atau
kedhaifanya dalam periwayatan.
Persyaratan ini dipandang penting bagi
mujtahid antara lain karena mengingat fungsi hadist (temasukdi dalamnya
hadist-hadist hukum) sebagai penjelas (mubayyin) Alquran.
4. MENGETAHUI SEGI-SEGI QIYAS
Mujtahid harus mengetahui tentang
‘illat dan hikmah pembentukan hukm yang karenanya hukum disyari’atkan.
Mengetahui jalur-jalur yang dipergunakan oleh Syari’ untuk mengetahui ‘illat
hukumnya. Mujtahid juga harus mengetahui terhadap ihwal manusia dan muamalah
mereka, sehingga mujtahid dapat mengetahui suatu kasus yang tidak ada nashnya
yang terbukti ‘illat hukumnya. Dan juga harus mengetahui tentang kemaslahatan
manusia dan adat istiadat mereka, serta suatu yang menjadi perantara kepada
kebaikan dan keburukan mereka.
Dari uraian di atas sudah jelas betapa
ijtihad sangat diperlukan guna memahami dengan benar maksud-maksud syari’at dan
bagaimana dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, di samping itu,
dapat di mengerti pula bahwa tidak semua orang mampu dan boleh berijtihad,
mengingat betapa kompleksnya upaya ijtihad. Ulama telah menyepakati beberapa
persyaratan bagi siapa yang dapat dianggap sebagai mujtahid. Hal ini
semata-mata digariskan oleh ulama sebagai hal yang mutlak perlu menurut akal
sehat dan juga mengambil teladan dari imam besar, mujtahid di masa lalu yang
memiliki sifat-sifat itu.
G. TINGKATAN MUJTAHID
Menurut sarjana ushul fiqh, hanya
orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tersebut yang berhak menyandang
predikat mujtahid. Namun, mereka membedakan derajat mujtahid ke dalam beberapa
martabat dari tingkatan tertinggi sampai tingkatan terendah. Beberapa tingkatan
mujtahid itu adalah
1.
Mujtahid Mustaqil, yaitu mujtahid yang
mampu menggali hukum-hukum syari’at langsung dari sumbernya yang terpokok (
Alquran dan Sunnah) dan dalam mengistimbatkan hukum mujtahid mempunyai
dasar-dasar istimbat sendiri, tidak mengikuti istimbat orang lain. Mustahid
mustaqil ini lazim disebut dengan istilah mujtahid mutlak.
2.
Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang
dalam mengistimbatkan hukum mengikuti (memilih) ushul istimbat imam madzab
tertentu, walaupun dalam masalah-masalah furu’ dia berbeda pendapat dengan
imamnya.
3.
Mujtahid Madzab, yaitu mujtahid yang
mengikuti imam madzabnya baik dalam masalah ushul maupun furu’. Kalaupun dia
melakukan ijtihad, ijtihadnya terbatas dalam masalah yang ketentuan hukumnya
tidak dia peroleh dari imam madzab yang di anutnya.
4.
Mujtahid Murajjih, yaitu mujtahid yang
tidak mengistimbatkan hukum-hukum furu’ (apalagi hukum asal), akan tetapi dia
hanya membandingkan beberapa pendapat mujtahid yang ada untuk kemudian memilih
salah satu pendapat yang di pandang paling kuat.
5.
Mujtahid Mustadil, yaitu ulama yang
tidak melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat yang ada, akan tetapi dia
mengemukakan dalil-dalil berbagai pendapat tersebut dan menerangkan mana yang
patut dipegang ( di ikuti) tanpa melakukan tarjih terlebih dahulu.
H. CONTOH IJTIHAD
Beberapa contoh dari
ijtihad sebagai berikut:
1.
Ketika keadaan umat Islam sibuk
memerangi orang-orang yang pada melalaikan membayar zakat, para qori’ banyak
yang meninggal dunia dan Umar khawatir Alquran akan hilang bersama kematian
para penghafal Alquran. Maka Abu bakar disarankan agar menulis dan mendewankan
Alquran. Beliau menolak saran itu dengan mengatakan : “apakah aku harus
melakikan sesuatu yang tidak di kerjakan oleh Rosulullah SAW?” lalu beliau
mengutus menghadap Zaid bin Tsabit dan mengemukakan saran Umar tersebut.
Seperti halnya Abu Bakar, Zaid pun menghindarinya dan mengatakan seperti apa
yang dikatakan oleh Abu Bakar. Dalam pertemuan itu Umar mengemukakan alasan
bahwa perbuatan seperti itu tidak mengundang bahaya sedikitpun. Bahkan
mengandung kebaikan bagi islam dan kaum muslimin sendiri. Akhirnya terjadilah
persepakatan dan terus di bentuk panitia yang terdiri atas para penghafal
Alquran yang terpercaya untuk melaksanakan keputusan yang telah disepakati
bersama.
2.
Dalam surat al-maidah: 38 Allah
memerintahkan memotong tangan pencuri perempuan dan laki-laki sebagai balasan
atas tindakanya menentang hukum Allah. Pada pemerintahan Umar pernah terjadi
bahaya kelaparan, sehingga banyak pencuri. Atas keadaan yang demikian itu Umar
tidak menghukum pencuri yang tertangkap dengan hukuman had. Karena beliau berpendapat
bahwa kemaslahatan yang diharapkan akibat pemberian hukuman tidak akan
terealisir beserta adanya bencana kelaparan yang menyeret manusia kepada makan
secara tidak halal.
3.
Pembatasan umur untuk melangsungkan
perkawinan, kitab-kitab fiqh klasik tidak memberikan batasan umur untuk
melakukan perkawinan. Tetapi dalam pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan KHI Pasal 15 Buku I Hukum perkawinan, secara jelas mengatur
umur perkawinan untuk laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Ketentuan ini
didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga.
BAB III
PENUTUP
Ijtihad
dilakukan oleh mujtahid untuk mengeluarkan hukum berdasarkan Kitabullah dan
Sunnah Rasul. Karena mujtahid ini mengeluarkan hukum, maka ia disebut pula
sebagai hakim. Tapi tidak semua orang dapat berijtihad begitu saja dan
mengeluarkan fatwa.Untuk mencapai derajat mujtahid, seseorang harus memenuhi
syarat-syarat tertentu.Namun, dalam ijtihad terdapat perbedaan stratifikasi
para mujtahid ke dalam beberapa martabat.
Kita telah mengetahui bersama bahwa sumber hukum tertinggi dalam Islam adalah Al-Qur’an dan Hadits. Namun, seiring berjalannya waktu, permasalahan-permasalahan yang ditemui umat islam pun kian berkembang. Ketika permasalahan-permasalahan tersebut tidak dapat lagi diselesaikan hanya melalui nash Al-Qur’an dan Hadist secara eksplisit (jelas), timbul istilah ijtihad.
Referensi
Kita telah mengetahui bersama bahwa sumber hukum tertinggi dalam Islam adalah Al-Qur’an dan Hadits. Namun, seiring berjalannya waktu, permasalahan-permasalahan yang ditemui umat islam pun kian berkembang. Ketika permasalahan-permasalahan tersebut tidak dapat lagi diselesaikan hanya melalui nash Al-Qur’an dan Hadist secara eksplisit (jelas), timbul istilah ijtihad.
Referensi
DAFTAR PUSTAKA
Zuhri, Moh. dan
Qarib, Ahmad, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang : Toha Putra Group, 1994.
Yusdani, Amir
Mu’allim, Ijtihad dan Legislasi, Yogyakarta : UII PRESS, 2004.
Yahya, Muhtar
dan Rahman, Fatkhur, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum fiqh Islami, Bandung :
PT Alma’arif, 1986.
Abdullah, Amin,
“madzhab” Jogja, Yogyakarta : Ar-Ruzz Press, 2002.
Labib, Muhsein,
Dasar-Dasar Hukum Islam, Malang : Yayasan Al-Kautsar, 1994
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking